Surah Al-Fatihah Ayat 2, Puji kepada Pencipta Alam Semesta

0
1229

Surah Al-Fatihah Ayat 2 membawa kita ke inti pengakuan pujian kepada Allah sebagai Tuhan semesta alam. Dalam ayat ini, kita diperkenalkan kepada esensi kesempurnaan dan keagungan Allah sebagai Pencipta dan Pemelihara alam semesta.

Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman:

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ

 Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. (Q.S. Al-Fatihah : 2)

.

Tafsir Surah Al-Fatihah Ayat 2

Mari kita bersama-sama merenungkan makna apa yang tafsir sampaikan mengenai Surah Al-Fatihah ayat 2 ini.

Simak: Surah Al-Fatihah, Pembukaan yang Membawa Cahaya

.

Tafsir Ibnu Abbas

(segala puji bagi Allah), yakni segala syukur kepunyaan Allah Subhaanahu wa Ta’aala dan Dia-lah Pemberi balasan kepada makhluk yang memuji-Nya. Pendapat lain mengatakan, al-hamdu lillāhi berarti segala syukur kepunyaan Allah Subhaanahu wa Ta’aala atas Nikmat-nikmat-Nya yang sempurna, yang telah Dia berikan kepada hamba-hamba-Nya yang Dia tunjukkan pada keimanan. Dan ada pula yang berpendapat, al-hamdu lillāhi adalah segala syukur, keesaan, dan keilahan adalah kepunyaan Allah yang tidak beranak, tidak bersekutu, serta tidak memiliki penolong dan pembantu.

(Rabb semesta alam), yakni Rabb semua yang bernyawa, yang melata di muka bumi, dan Rabb segenap penghuni langit. Pendapat lain mengatakan, rabbil `ālamīn adalah Tuhan segenap jin dan manusia. Dan ada pula yang berpendapat, rabbil `ālamīn adalah Pencipta, Pemberi rezeki, dan yang Mengubah-ubah seluruh makhluk dari suatu keadaan ke keadaan yang lain. Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

.

Tafsir Hidayatul Insan

Segala puji[3] bagi Allah, Tuhan semesta alam[4].

[3] Alhamdu artinya segala puji. Memuji dilakukan karena perbuatannya yang baik. Maka memuji Allah berati menyanjung-Nya karena perbuatan-Nya yang baik seperti melimpahkan karunia dan berbuat adil, karena sifat-sifat-Nya yang sempurna dan karena nikmat-nikmat-Nya yang begitu banyak yang dilimpahkan-Nya kepada kita baik nikmat yang berkaitan dengan agama maupun dunia.

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, Al Hamdu adalah menyifati yang dipuji dengan kesempurnaan disertai rasa cinta dan pengagungan; baik kesempurnaan dzaat, sifat maupun perbuatan-Nya. Dengan demikian dalam memuji Allah Ta’ala harus disertai rasa cinta dan pengagungan serta ketundukan, karena jika tidak seperti ini bukan merupakan pujian yang sempurna.

Kita menghadapkan segala puji bagi Allah ialah karena dari Allah sumber segala kebaikan yang kita peroleh. Di dalam ayat ini mengandung perintah kepada semua hamba agar memuji Allah Ta’ala. Ayat ini juga menunjukkan bahwa Allah Ta’ala berhak mendapatkan pujian sempurna dari segala sisi, oleh karena itu Nabi ﷺ ketika mendapatkan hal yang menyenangkan mengucapkan Al Hamdulillahilladziy bini’matihi tatimmush shaalihaat (segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya amal shalih menjadi sempurna), dan ketika Beliau memperoleh selain itu, Beliau tetap mengucapkan Al Hamdulillah ‘alaa kulli haal (segala puji bagi Allah dalam semua keadaan) sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Majah (3803).

[4] Rabb (tuhan) berarti Tuhan yang ditaati yang Memiliki, Mendidik, Mengurus dan Memelihara. Lafal Rabb tidak dapat dipakai selain untuk Allah, kecuali kalau ada sambungannya, seperti rabbul bait (tuan rumah). ‘Alamiin (semesta alam) adalah semua yang diciptakan Allah yang terdiri dari berbagai jenis dan macam, seperti: alam manusia, alam hewan, alam tumbuh-tumbuhan, benda-benda mati dan sebagainya. Allah Pencipta semua alam-alam itu, Dia-lah yang menciptakan semua makhluk, yang mengurus urusan mereka, mengurus semua makhluk-Nya dengan nikmat-nikmat-Nya dan mengurus para wali-Nya dengan iman dan amal yang shalih. Dengan demikian, pemeliharaan Allah Ta’ala kepada alam semesta itu ada yang umum dan ada yang khusus. Yang umum adalah diciptakan-Nya mereka, diberi-Nya rezeki, diberi-Nya mereka petunjuk kepada hal-hal yang bermaslahat bagi mereka agar mereka dapat hidup di muka bumi, sedangkan yang khusus adalah dengan dididik-Nya para wali-Nya dengan iman dan amal shalih atau diberi-Nya taufiq kepada setiap kebaikan dan dihindarkan dari semua keburukan. Mungkin inilah rahasia mengapa do’a yang diucapkan para nabi kebanyakan menggunakan lafaz Rabb (seperti Rabbi atau Rabbanaa). Ayat ini menunjukkan bahwa hanya Allah-lah Rabbul ‘aalamin; yang menciptakan, mengatur, memberi rezeki, menguasai dan memiliki alam semesta; tidak ada Rabb selain-Nya.

.

Tafsir Jalalain

(Segala puji bagi Allah) Lafal ayat ini merupakan kalimat berita, dimaksud sebagai ungkapan pujian kepada Allah berikut pengertian yang terkandung di dalamnya, yaitu bahwa Allah Taala adalah yang memiliki semua pujian yang diungkapkan oleh semua hamba-Nya. Atau makna yang dimaksud ialah bahwa Allah Taala itu adalah Zat yang harus mereka puji. Lafal Allah merupakan nama bagi Zat yang berhak untuk disembah.

(Tuhan semesta alam) artinya Allah adalah yang memiliki pujian semua makhluk-Nya, yaitu terdiri dari manusia, jin, malaikat, hewan-hewan melata dan lain-lainnya. Masing-masing mereka disebut alam. Oleh karenanya ada alam manusia, alam jin dan lain sebagainya. Lafal ‘al-`aalamiin’ merupakan bentuk jamak dari lafal ‘`aalam’, yaitu dengan memakai huruf ya dan huruf nun untuk menekankan makhluk berakal/berilmu atas yang lainnya. Kata ‘aalam berasal dari kata `alaamah (tanda) mengingat ia adalah tanda bagi adanya yang menciptakannya.

Simak: Ayat Kursi, Pencerahan Jiwa dan Kehadiran Ilahi

.

Tafsir Ibnu Katsir

Firman Allah Ta’aala:

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. (Q.S. Al-Fatihah : 2)

Menurut Qira’ah Sab’ah,  huruf dal dalam firman-Nya,   alhamdu lillahi, dibaca dammah, terdiri atas mubtada dan khabar.

Diriwayatkan dari Sufyan ibnu Uyaynah dan Rubah ibnul Ajjaj, keduanya membacanya menjadi alhamda lillahi (الْحَمْدَ لِلَّهِ) dengan huruf dal yang di-fathah-kan karena menyimpan fi’l.

Ibnu Abu Ablah membacanya alhamdulillah dengan huruf dal dan lam yang di-dammah-kan kedua-duanya karena yang kedua diikutkan kepada huruf pertama dalam harakat. Ia mempunyai syawahid (bukti-bukti) yang menguatkan pendapatnya ini, tetapi dinilai syaz (menyendiri).

Diriwayatkan dari Al-Hasan dan Zaid ibnu Ali bahwa keduanya membacanya alhamdi lillahi dengan membaca kasrah huruf dal karena diseragamkan dengan harakat huruf sesudahnya.

Abu Ja’far ibnu Jarir mengatakan bahwa makna alhamdulillah ialah segala syukur hanyalah dipersembahkan kepada Allah semata, bukan kepada apa yang disembah selain-Nya dan bukan kepada semua apa yang diciptakan-Nya, sebagai imbalan dari apa yang telah Dia limpahkan kepada hamba-hamba-Nya berupa segala nikmat yang tak terhitung jumlahnya. Tiada seorang pun yang dapat menghitung semua bilangannya selain Dia semata. Nikmat itu antara lain adalah tersedianya semua sarana untuk taat kepada-Nya, kemampuan semua anggota tubuh yang ditugaskan untuk mengerjakan hal-hal yang difardukan oleh-Nya. Selain itu Dia menggelarkan rezeki yang berlimpah di dunia ini buat hamba-Nya dan memberi mereka makan dari rezeki tersebut sebagai nikmat kehidupan buat mereka, padahal mereka tidak memilikinya. Dia mengingatkan dan menyeru mereka agar semuanya itu dijadikan sebagai sarana buat mencapai kehidupan yang abadi di dalam surga yang penuh dengan kenikmatan yang kekal untuk selama-lamanya. Maka segala puji hanyalah bagi Tuhan kita atas semua itu sejak permulaan hingga akhir.

Ibnu Jarir mengatakan bahwa alhamdulillah adalah pujian yang digunakan oleh Allah untuk memuji diri-Nya sendiri termasuk di dalam pengertiannya ialah Dia memerintahkan hamba-Nya untuk memanjatkan puji dan sanjungan kepada-Nya. Seakan-akan Allah Subhaanahu wa Ta’aala bermaksud, Katakanlah oleh kalian, ‘Segala puji hanyalah bagi Allah’!

Ibnu Jarir mengatakan, adakalanya dikatakan sesungguhnya ucapan seseorang yang mengatakan alhamdulillah merupakan pujian yang ditujukan kepada-Nya dengan menyebut asma-Nya yang terbaik dan sifat-Nya Yang Maha Tinggi. Sedangkan ucapan seseorang segala syukur adalah milik Allah merupakan pujian kepada-Nya atas nikmat dan limpahan rahmat-Nya.

Kemudian Ibnu Jarir mengemukakan bantahannya yang kesimpulannya adalah semua ulama bahasa Arab menyamakan makna antara alhamdu dan asy-syukru (antara puji dan syukur). Pendapat ini dinukil pula oleh As-Sulami, yaitu pendapat yang mengatakan bahwa puji dan syukur adalah sama pengertiannya, dari Ja’far As-Sadiq dan Ibnu Ata dari kalangan ahlu tasawwuf. Ibnu Abbas mengatakan bahwa ucapan segala puji bagi Allah merupakan kalimat yang diucapkan oleh semua orang yang bersyukur. Al-Qurtubi menyimpulkan dalil yang menyatakan kebenaran orang yang mengatakan bahwa kalimat alhamdulillah adalah ungkapan syukur, dia nyatakan ini terhadap Ibnu Jarir. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Ibnu Jarir masih perlu dipertimbangkan dengan alasan bahwa telah dikenal di kalangan mayoritas ulama muta-akhkhirin bahwa alhamdu adalah pujian dengan ucapan terhadap yang dipuji dengan menyebutkan sifat-sifat lazimah dan yang muta’addiyah bagi-Nya, sedangkan asy-syukru tidaklah diucapkan melainkan hanya atas sifat yang muta’addiyah saja. Terakhir adakalanya diucapkan dengan lisan atau dalam hati atau melalui sikap dan perbuatan sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam perkataan seorang penyair:

أَفَادَتْكُمُ النَّعْمَاءُ مِنِّي ثَلَاثَةً: … يَدِي وَلِسَانِي وَالضَّمِيرُ الْمُحَجَّبَا

Nikmat paling berharga yang telah kalian peroleh dariku ada tiga macam, yaitu melalui kedua tanganku, lisanku, dan hatiku yang tidak tampak ini.

Akan tetapi, mereka berselisih pendapat mengenai yang paling umum maknanya di antara keduanya, pujian ataukah syukur. Ada dua pendapat mengenainya. Menurut penyelidikan, terbukti memang di antara keduanya terdapat pengertian khusus dan umum. Alhamdu lebih umum pengertiannya daripada asy-syukru, yakni bila dipandang dari segi pengejawantahannya. Dikatakan demikian karena alhamdu ditujukan kepada sifat yang lazimah dan yang muta’addiyah. Engkau dapat mengatakan, Aku puji keberaniannya, dan Aku puji kedermawanannya, hanya saja pengertiannya lebih khusus karena hanya diungkapkan melalui ucapan. Lain halnya dengan asy-syukru yang pengertiannya lebih umum bila dipandang dari segi pengejawantahannya (realisasinya) karena dapat diungkapkan dengan ucapan, perbuatan, dan niat. seperti yang telah dijelaskan tadi. Asy-syukur dinilai lebih khusus karena hanya diungkapkan terhadap sifat muta’addiyah saja, tidak dapat dikatakan, Aku mensyukuri keberaniannya, atau Aku mensyukuri kedermawanan dan kebajikannya kepadaku. Demikianlah menurut catatan sebagian ulama muta-akhkhirin.

Abu Nasr Ismail ibnu Hammad Al-Jauhari mengatakan, pengertian alhamdu merupakan lawan kata dari azzam (celaan). Dikatakan hamdihir rajula, alhamduhu hamdan wamahmadah (aku memuji lelaki itu dengan pujian yang setinggi-tingginya); bentuk fail-nya ialah hamid, dan bentuk mafid-nya ialah mahmud.

Lafaz tahmid mempunyai makna lebih kuat daripada alhamdu. Sedangkan alhamdu lebih umum pengertiannya daripada asy-syukru. Abu Nasr mengatakan sehubungan dengan makna asy-syukru, yaitu sanjungan yang ditujukan kepada orang yang berbuat baik sebagai imbalan dari kebaikan yang telah diberikannya. Dikatakan syakar-tuhu atau syakartu lahu artinya aku berterima kasih kepadanya, tetapi yang memakai lam lebih fasih. Sedangkan makna al-madah lebih umum daripada alhamdu, karena pengertian al-madah (pujian) dapat ditujukan kepada orang hidup, orang mati, juga terhadap benda mati, sebagaimana pujian terhadap makanan, tempat, dan lain sebagainya; dan al-madah dapat dilakukan sebelum dan sesudah kebaikan, juga dapat ditujukan kepada sifat yang lazimah dan yang muta’addiyyah. Dengan demikian, berarti al-madah lebih umum pengertiannya (dari-pada alhamdu).

Hanya Allah Yang Maha mengetahui dan segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.

Selanjutnya, mari kita terus memperdalam pemahaman kita terhadap ajaran Al-Qur’an dengan merenungkan Al-Fatihah ayat 2, Pendapat Ulama Mengenai Alhamdu bersama kami di kecilnyaaku.com.

 

Ayat:     2    3        5       7

 

Artikel SebelumnyaPuasa Merupakan Bentuk Pelatihan Diri
Artikel SelanjutnyaPuisi : Hidup bukan Tanpa Arti

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini