Apa yang Khidhir Perbuat Bukan Menurut Kemauannya Sendiri

Tafsir Al-Qur’an: Surah Al-Kahf ayat 82

0
533

Kajian Tafsir Surah Al-Kahf ayat 82. Hikmah-hikmah dari perbuatan Khidhir. Apa yang Khidhir perbuat bukan menurut kemauannya sendiri, melainkan berdasarkan perintah dan ilham dari Allah. Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman:

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنزٌ لَّهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحاً فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنزَهُمَا رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِع عَّلَيْهِ صَبْراً -٨٢

Adapun dinding rumah itu adalah milik dua anak yatim di kota itu, yang di bawahnya tersimpan harta bagi mereka berdua, sedang ayahnya seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar keduanya sampai dewasa dan keduanya mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu. Apa yang kuperbuat bukan menurut kemauanku sendiri. Itulah keterangan perbuatan-perbuatan yang engkau tidak sabar terhadapnya.”  (Q.S. Al-Kahf : 82)

.

Tafsir Jalalain

  1. (Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak muda yang yatim di kota ini, dan di bawahnya ada harta benda simpanan) yakni harta yang terpendam berupa emas dan perak (bagi mereka berdua, sedangkan ayahnya adalah seorang yang saleh) maka dengan kesalehannya itu ia dapat memelihara kedua anaknya dan harta benda bagi keduanya (maka Rabbmu menghendaki agar mereka berdua sampai kepada kedewasaannya) sampai kepada usia dewasa (dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Rabbmu). Lafal Rahmatan menjadi Maf’ul Lah, sedangkan ‘Amilnya adalah lafal Araada (dan bukanlah aku melakukannya itu) yaitu semua hal yang telah disebutkan tadi, yakni melubangi perahu, membunuh anak muda dan mendirikan tembok yang hampir roboh (menurut kemauanku sendiri) berdasarkan keinginanku sendiri, tetapi hal itu kulakukan berdasarkan perintah dan ilham dari Allah. (Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya)” lafal Tasthi’ menurut pendapat lain dibaca Isthaa’a dan Istathas’a artinya mampu. Di dalam ayat ini dan ayat-ayat sebelumnya terdapat berbagai macam ungkapan, yaitu terkadang memakai istilah Aradtu (aku menghendaki); terkadang memakai istilah Aradnaa (kami menghendaki), dan terkadang memakai istilah Araada Rabbuka (Rabbmu menghendaki). Hal ini dinamakan Jam’un Bainal Lughataini atau penganekaragaman ungkapan.

BACA JUGA Kajian Tafsir Al-Qur’an Juz Ke-16 untuk ayat lainnya

Tafsir Ibnu Katsir

Di dalam ayat ini terkandung suatu dalil yang menunjukkan bahwa kata qaryah (kampung) dapat di artikan dengan madinah (kota), karena dalam ayat yang sebelumnya disebutkan:

حَتَّى إِذَا أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ

hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu kampung. (Al-Kahfi: 77)

Dan dalam ayat ini disebutkan:

dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu. (Al-Kahfi: 82)

Masalah ini sama dengan apa yang disebutkan di dalam kedua firman-Nya berikut ini:

وَكَأَيِّنْ مِنْ قَرْيَةٍ هِيَ أَشَدُّ قُوَّةً مِنْ قَرْيَتِكَ الَّتِي أَخْرَجَتْكَ

Dan berapa banyaknya negeri-negeri yang (penduduknya) lebih kuat daripada (penduduk) negerimu (Muhammad) yang telah mengusirmu. (Muhammad: 13)

وَقَالُوا لَوْلا نزلَ هَذَا الْقُرْآنُ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الْقَرْيَتَيْنِ عَظِيمٍ

Dan mereka berkata, “Mengapa Al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Mekah dan Taif) ini? ” (Az-Zukhruf: 31)

Makna ayat, yaitu dinding rumah ini sengaja aku perbaiki karena ia merupakan kepunyaan dua orang anak yatim penduduk kota ini, di bawah rumahnya ini terdapat harta benda simpanan bagi keduanya.

Ikrimah, Qatadah, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa di bawah rumah tersebut terdapat harta yang terpendam bagi kedua anak yatim itu. Demikianlah menurut makna lahiriah dari ayat, dan pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir.

Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa di bawah rumah itu terdapat perbendaharaan ilmu yang terpendam. Hal yang sama telah dikatakan oleh Sa’id ibnu Jubair. Mujahid mengatakan bahwa yang terpendam itu berupa lembaran-lembaran yang bertuliskan ilmu pengetahuan. Di dalam sebuah hadis berpredikat marfu’ telah disebutkan hal yang menguatkan pendapat ini.

Al-Hafiz Abu Bakar Ahmad ibnu Amr ibnu Abdul Khaliq Al-Bazzar telah mengatakan di dalam kitab musnadnya yang terkenal, bahwa telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Sa’id Al-Jauhari, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnul Munzir, telah menceritakan kepada kami Al-Haris ibnu Abdullah Al-Yahsubi, dari Iyasy ibnu Abbas Al-Gassani, dari Abu Hujairah, dari Abu Zar yang me-rafa ‘-kannya:

إِنَّ الْكَنْزَ الَّذِي ذَكَرَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ: لَوْحٌ مِنْ ذَهَبٍ مُصْمَتٍ مَكْتُوبٍ فِيهِ: عَجِبْتُ لِمَنْ أَيْقَنَ بِالْقَدْرِ لِمَ نَصِبَ ؟ وَعَجِبْتُ لِمَنْ ذَكَرَ النَّارَ لِمَ ضَحِك ؟ وَعَجِبَتْ لِمَنْ ذَكَرَ الْمَوْتَ لِمَ غَفَلَ؟ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ

Bahwa sesungguhnya harta terpendam yang disebutkan oleh Allah Swt. di dalam Kitab-Nya adalah berupa lempengan-lempengan emas yang padanya tertulis kalimat berikut: Aku merasa heran terhadap orang yang mengakui dirinya beriman kepada takdir, mengapa dia bersusah payah. Dan aku heran terhadap orang yang ingat akan neraka, mengapa dia tertawa. Dan aku merasa heran kepada orang yang ingat akan mati, mengapa ia lalai. Tidak ada Tuhan selain Allah, Muhammad utusan Allah.

Bisyr ibnul Munzir yang disebutkan dalam sanad ini adalah seorang kadi di Al-Masisah. Menurut Al-Hafiz Abu Ja’far Al-Uqaili, hadis yang diriwayatkannya mengandung kelemahan.

Sehubungan dengan hal ini telah diriwayatkan oleh banyak asar bersumber dari ulama Salaf, antara lain Ibnu Jarir yang mengatakan di dalam kitab tafsirnya bahwa telah menceritakan kepadaku Ya’qub, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Habib ibnun Nudbah, telah menceritakan kepada kami Salamah, dari Na’im Al-Anbari, salah seorang murid Al-Hasan; ia mengatakan bahwa ia pernah mendengar Al-Hasan Al-Basri menafsirkan makna firman-Nya: dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua. (Al-Kahfi: 82) Simpanan itu berupa lempengan emas yang padanya termaktub kalimat berikut: Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Aku merasa heran kepada orang yang beriman kepada takdir, mengapa dia bersedih hati. Dan aku merasa heran kepada orang yang beriman kepada kematian, mengapa dia bersenang hati. Dan aku heran kepada orang yang mengenal dunia serta silih bergantinya dengan para ahlinya, mengapa dia merasa tenang kepadanya. Tidak ada Tuhan selain Allah, Muhammad utusan Allah.

Dan telah menceritakan kepadaku Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Abbas, dari Umar maula (bekas budak) Gafrah yang mengatakan bahwa sesungguhnya harta terpendam yang disebutkan oleh Allah di dalam surat yang padanya diceritakan tentang para pemuda penghuni gua (Al-Kahfi), yaitu firman-Nya: dan di bawahnya ada harta simpanan bagi mereka berdua. (Al-Kahfi: 82) berupa sebuah lempengan emas yang padanya tertulis kalimat berikut: Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, mengherankan orang yang percaya dengan adanya neraka, lalu ia dapat tertawa. Mengherankan orang yang percaya dengan takdir, lalu ia bersusah payah. Mengherankan orang yang meyakini kematian, lalu ia merasa aman (darinya). Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.

Telah menceritakan pula kepadaku Ahmad ibnu Hazim Al-Gifari, telah menceritakan kepada kami Hunadah binti Malik Asy-Syaibaniyyah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar teman (suami)nya (yaitu Hammad ibnul Walid As-Saqafi) mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ja’far ibnu Muhammad mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua. (Al-Kahfi: 82) Bahwa hal itu merupakan prasasti yang terdiri atas dua baris setengah, baris yang ketiganya tidak lengkap. Padanya disebutkan: Aku heran kepada orang yang beriman kepada (pembagian) rezeki, mengapa bersusah payah. Dan aku heran kepada orang yang beriman dengan hari hisab (perhitungan amal perbuatan), mengapa dia lalai (kepadanya). Dan aku heran kepada orang yang percaya dengan kematian, mengapa bergembira.

Allah Swt. telah berfirman :

وَإِنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا وَكَفَى بِنَا حَاسِبِينَ

Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan. (Al-Anbiya: 47)

Selanjutnya Hunadah mengatakan bahwa kedua anak itu dalam keadaan terpelihara berkat kesalihan kedua orang tuanya, tetapi tidak ada yang menyebutkan bahwa keduanya berlaku saleh.

Disebutkan pula bahwa jarak antara keduanya dengan ayahnya yang menyebabkan keduanya terpelihara adalah tujuh turunan. Dan ayah mereka adalah seorang ahli menulis.

Apa yang disebutkan oleh para imam dan apa yang disebutkan oleh hadis di atas pada hakikatnya tidaklah bertentangan dengan pendapat Ikrimah. Ikrimah menyebutkan, sesungguhnya yang terpendam itu adalah harta. Dikatakan demikian karena mereka menyebutkan bahwa harta peninggalan yang terpendam itu berupa lempengan emas yang disertai dengan harta yang cukup berlimpah. Terlebih lagi padanya tertuliskan ilmu yang berupa kata-kata bijaksana dan nasihat-nasihat yang baik. Hanya Allah-lah yang mengetahui kebenarannya.

Firman Allah Swt.:

Sedangkan ayahnya adalah seorang yang saleh. (Al-Kahfi: 82)

Dari pengertian ayat ini tersimpulkan bahwa seorang lelaki yang saleh dapat menyebabkan keturunannya terpelihara, dan berkah ibadah yang dilakukannya menaungi mereka di dunia dan akhirat. Yaitu dengan memperoleh syafaat darinya, dan derajat mereka ditinggikan ke tingkat yang tertinggi di dalam surga berkat orang tua mereka, agar orang tua mereka senang dengan kebersamaan mereka di dalam surga. Hal ini telah disebutkan di dalam Al-Qur’an, juga di dalam sunnah.

Sa’id ibnu Jubair telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa kedua anak itu terpelihara berkat kesalehan kedua orang tuanya, tetapi tidak ada kisah yang menyebutkan bahwa keduanya berlaku saleh. Dalam keterangan terdahulu disebutkan bahwa orang tua tersebut adalah kakek ketujuhnya. Hanya Allah-lah yang mengetahui kebenarannya.

Firman Allah Swt.:

Maka Tuhanmu menghendaki supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya. (Al-Kahfi:82)

Dalam ayat ini disebutkan bahwa iradah atau kehendak dinisbatkan kepada Allah Swt. karena usia balig keduanya tidaklah mampu berbuat apa pun terhadap harta terpendam itu, kecuali dengan pertolongan Allah. Hal yang sama disebutkan dalam kisah anak muda yang dibunuh, yaitu firman-Nya:

فَأَرَدْنَا أَنْ يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِنْهُ

Dan kami menghendaki supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya daripada anaknya itu. (Al-Kahfi: 81)

Dan dalam kisah bahtera disebutkan oleh firman-Nya:

فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا

Dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu. (Al-Kahfi: 79)

Adapun firman Allah Swt.:

Sebagai rahmat dari Tuhanmu, dan bukanlah aku melakukannya itu menuruti kemauanku sendiri. (Al-Kahfi: 82)

Artinya apa yang aku lakukan dalam ketiga peristiwa tadi tiada lain merupakan rahmat Allah kepada para pemilik bahtera, orang tua si anak, dan kedua anak lelaki yang saleh. Aku melakukannya bukanlah atas kemauanku sendiri, melainkan aku diperintahkan untuk melakukannya dan aku mengerjakannya sesuai dengan apa yang diperintahkan. Berangkat dari pengertian ayat inilah maka ada orang-orang yang berpendapat bahwa Khidir adalah seorang nabi. Dalil lainnya ialah firman Allah Swt. yang lalu, yaitu:

فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا

Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. (Al-Kahfi: 65).

Ulama lainnya mengatakan bahwa Khidir adalah seorang rasul. Bahkan pendapat yang lainnya lagi mengatakan bahwa Khidir adalah malaikat, menurut apa yang dinukil oleh Al-Mawardi di dalam kitab tafsirnya. Tetapi kebanyakan ulama mengatakan bahwa Khidir bukanlah seorang nabi, melainkan seorang wali. Hanya Allah-lah yang mengetahui kebenarannya.

Ibnu Qutaibah mengatakan di dalam kitab Al-Ma’arif, bahwa nama Khidir adalah Balya ibnu Mulkan ibnu Faligh ibnu Abir ibnu Syalikh ibnu Arfukhsyad ibnu Sam ibnu Nuh a.s. Mereka mengatakan bahwa nama julukannya adalah Abul Abbas, sedangkan nama panggilannya adalah Khidir; dia adalah anak seorang raja. Demikianlah menurut keterangan yang disebutkan oleh Imam Nawawi di dalam kitab Tahzibul Asma-nya.

Dia juga yang lainnya telah meriwayatkan bahwa Khidir masih tetap hidup sampai sekarang, sampai hari kiamat nanti; ada dua pendapat mengenainya. Tetapi An-Nawawi dan Ibnu Salah cenderung memilih pendapat yang mengatakan bahwa Khidir masih tetap hidup sampai sekarang. Mereka yang mengatakan bahwa dia masih hidup menyebutkan berbagai kisah dan asar dari ulama salaf dan lain-lainnya. Dan Khidir pernah disebutkan pula dalam beberapa hadis, tetapi tidak ada satu pun di antaranya yang sahih. Yang paling terkenal ialah hadis mengenai ta’ziyah atau ucapan belasungkawanya saat Nabi ﷺ wafat, tetapi sanadnya daif.

Ulama lainnya dari kalangan ahli hadis dan lain-lainnya menguatkan pendapat yang bertentangan dengan pendapat di atas. Mereka berpegang kepada firman Allah Swt. yang menyebutkan:

وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِنْ قَبْلِكَ الْخُلْدَ

Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu. (Al-Anbiya: 34)

Dan sabda Nabi ﷺ dalam doanya saat menjelang Perang Badar:

اللَّهُمَّ إِنَّ تُهْلِكْ هَذِهِ الْعِصَابَةَ لَا تُعْبَدْ فِي الْأَرْضِ

Ya Allah, jika golongan (kaum muslim) ini binasa, Engkau tidak akan disembah lagi di bumi ini.

Tidak ada suatu riwayat pun yang menukil bahwa Khidir datang menghadap kepada Rasulullah ﷺ tidak menemuinya, serta tidak pula berperang bersamanya. Seandainya Khidir benar masih hidup, tentulah dia termasuk pengikut Nabi Muhammad ﷺ dan sebagai salah seorang sahabatnya; karena Nabi ﷺ diutus kepada semua makhluk, baik manusia maupun jin. Dan Nabi ﷺ pernah bersabda:

لَوْ كَانَ مُوسَى وَعِيسَى حَيَّيْن مَا وَسِعَهُمَا إِلَّا اتِّبَاعِي

Seandainya Musa dan Isa masih hidup, tentulah keduanya mengikutiku.

[Barangkali hal ini merupakan salah satu dari kekeliruan yang dilakukan oleh Penulis, atau ditambahkan oleh seorang zindiq ke dalam tafsirnya. Karena sesungguhnya pendapat ini bertentangan dengan hadis mutawatir yang menyatakan, bahwa Isa kelak di akhir zaman akan turun. Untuk lebih jelasnya, silakan merujuk ke kitab aslinya (Tafsir Ibnu Kasir), mengenai penjelasan ayat 80-81 surat Ali-Imran]

Sebelum Nabi ﷺ meninggal dunia beliau pernah bersabda bahwa tidak akan ada lagi seorangpun yang bersamanya di malam itu hidup di muka bumi setelah lewat seratus tahun. Dan masih banyak dalil-dalil lainnya yang semakna.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ، حَدَّثَنَا ابْنِ الْمُبَارَكِ، عَنْ مَعْمَر، عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّه، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ [فِي الخَضر قَالَ] إِنَّمَا سُمِّيَ خَضِرًا؛ لِأَنَّهُ جَلَسَ عَلَى فَرْوَةٍ بَيْضَاءَ، فَإِذَا هِيَ تَحْتَهُ [تَهْتَزُّ] خَضْرَاءَ

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Adam, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, dari Ma’mar, dari Hammam ibnu Munabbih, dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi ﷺ sehubungan dengan Khidir. Nabi ﷺ bersabda : Sesungguhnya dia diberi nama Khidir karena bila ia duduk di atas rumput yang kering, maka rumput yang ada di bawahnya berubah warnanya menjadi hijau (segar kembali).

Hal yang sama telah diriwayatkannya pula melalui Abdur Razzaq.

Di dalam kitab Sahih Bukhari disebutkan melalui Hammam, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda:

إِنَّمَا سُمِّي الخضِر؛ لِأَنَّهُ جَلَسَ عَلَى فَرْوَة، فَإِذَا هِيَ تَهْتَزُّ [مِنْ خَلْفِهِ] خَضْرَاءَ

Sesungguhnya dia dinamakan Khidir karena bila duduk di atas rumput kering, maka dengan serta merta rumput yang didudukinya itu berubah menjadi hijau.

Yang dimaksud dengan farwah dalam hadis ini ialah rumput yang kering dan semak-semak yang telah mati. Demikianlah menurut Abdur Razzaq. Menurut pendapat yang lain, yang dimaksud adalah tanah yang didudukinya

Firman Allah Swt.:

Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. (Al-Kahfi: 82)

Yakni demikianlah takwil dari hal-hal yang kamu tidak mengerti dan tidak dapat menahan diri terhadapnya sebelum kuceritakan kepadamu penjelasannya. Setelah Khidir menjelaskan kepada Musa tujuan semua perbuatannya sehingga lenyaplah kesulitan memahaminya dari Musa, ia berucap mamakai tasti’. Sedangkan sebelumnya diungkapkan dengan kata tastati’ yang menunjukkan bahwa kesulitan untuk memahami kuat dan berat, yaitu firman-Nya:

سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ تَسْتَطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا

Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. (Al-Kahfi:78)

Maka hal yang berat diungkapkan dengan kata yang bernada berat, sedangkan hal yang ringan diungkapkan dengan kata yang ringan pula. Perihalnya sama dengan pengertian yang terdapat di dalam ayat lain, yaitu:

فَمَا اسْطَاعُوا أَنْ يَظْهَرُوهُ

Maka mereka tidak dapat mendakinya. (Al-Kahfi: 97)

Yang dimaksudkan dengan yazharuhu ialah naik ke puncaknya. Dan dalam ayat selanjutnya disebutkan:

وَمَا اسْتَطَاعُوا لَهُ نَقْبًا

Dan mereka tidak dapat (pula) melubanginya. (Al-Kahfi: 97)

Yakni terlebih berat lagi untuk melubanginya, maka diungkapkanlah masing-masing dari kedua keadaan tersebut dengan bahasa yang sesuai, lafaz dan maknanya. Hanya Allah yang mengetahui kebenarannya.

Apabila dikatakan mengapa murid Nabi Musa di awal kisah disebut-sebut, kemudian dalam kisah selanjutnya tidak disebut-sebut? Sebagai jawabannya dapat dikatakan bahwa tujuan dari konteks kisah ini hanya menyangkut Musa bersama Khidir dan kejadian-kejadian yang dialami oleh keduanya, sedangkan murid Nabi Musa selalu mengikut kepadanya. Dalam hadis-hadis yang telah disebutkan di dalam kitab-kitab sahih dikatakan bahwa dia adalah Yusya’ Ibnu Nun. Dialah yang menggantikan Musa a.s. sebagai nabi kaum Bani Israil sesudah Musa tiada.

Hal tersebut menunjukkan kelemahan dari apa yang dikemukakan oleh Ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Salamah, telah menceritakan kepadaku Ibnu Ishaq, dari Al-Hasan ibnu Imarah, dari ayahnya, dari Ikrimah yang mengatakan bahwa pernah dikatakan kepada Ibnu Abbas, ‘”Kami belum pernah mendengar suatu keterangan pun dalam hadis yang menceritakan tentang murid Nabi Musa, padahal dia bersamanya.” Ibnu Abbas menjawab, antara lain disebutkan bahwa si murid minum dari air telaga itu sehingga ia hidup kekal. Maka orang yang alim itu (Khidir) menangkapnya dan memasukkannya ke dalam perahu yang ditangkubkan, lalu perahunya dibuang ke tengah laut.Sesungguhnya perahu itu benar-benar masih tetap berlayar hingga hari kiamat. Demikian itu karena seharusnya dia tidak minum dari air itu, tetapi ternyata ia melanggar dan meminumnya.

Sanad asar ini daif (lemah), lagi pula perawinya yang bernama Al-Hasan berpredikat matruk (tidak terpakai hadisnya), dan ayahnya tidak dikenal.

Hanya Allah Yang Maha mengetahui dan segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.

 

Artikel SebelumnyaKisah Zulqarnain
Artikel SelanjutnyaHikmah-hikmah dari Perbuatan Khidhir