Hikmah-hikmah dari Perbuatan Khidhir

Tafsir Al-Qur’an: Surah Al-Kahf ayat 82

0
488

Kajian Tafsir Surah Al-Kahf ayat 82. Hikmah-hikmah dari perbuatan Khidhir. Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman:

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنزٌ لَّهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحاً فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنزَهُمَا رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِع عَّلَيْهِ صَبْراً -٨٢

Adapun dinding rumah itu adalah milik dua anak yatim di kota itu, yang di bawahnya tersimpan harta bagi mereka berdua, sedang ayahnya seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar keduanya sampai dewasa dan keduanya mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu. Apa yang kuperbuat bukan menurut kemauanku sendiri. Itulah keterangan perbuatan-perbuatan yang engkau tidak sabar terhadapnya.”  (Q.S. Al-Kahf : 82)

.

Tafsir Ibnu Abbas

Wa ammal jidāru (adapun dinding itu), yakni dinding yang aku tegakkan itu.

Fa kāna li ghulāmaini yatīmaini (adalah kepunyaan dua orang anak yatim), yang bernama Ashram dan Sharim.

Fil madīnati (di kota itu), yakni di kota Anthakiyyah.

Wa kāna tahtahū kaηzul lahumā (di bawahnya terdapat harta simpanan bagi keduanya), yakni terdapat lurusan emas yang bertuliskan ilmu dan hikmah. Pada lurusan emas itu termaktub: bismillāhir rahmānir rahīm, aku heran kepada orang yang meyakini kematian, tetapi dia masih bisa bersukacita. Aku heran kepada orang yang meyakini takdir, tetapi dia masih berduka. Aku juga heran kepada orang yang meyakini bahwa dunia ini fana dan berubah-ubah, tetapi dia merasa tenteram dengannya. Lā ilāha illallāhu muhammadur rasūlullāh (tiada tuhan selain Allah, Muhammad utusan Allah).

Wa kāna abūhumā shālihan (sedangkan bapaknya adalah seorang saleh) yang amanah. bapaknya bernama Kasyih.

Fa arāda rabbuka ay yablughā asyuddahumā (maka Rabb-mu menghendaki agar mereka mencapai kedewasaannya), yakni akil balig.

Wa yastakhrijā kaηzahumā (serta mengeluarkan harta simpanan keduanya itu), yakni lurusan emas.

Rahmatam mir rabbika (sebagai rahmat dari Rabb-mu), yakni sebagai nikmat dari Rabb-mu untuk kedua anak yatim itu.

Wa mā fa‘altuhū ‘an amrī (dan aku tidak melakukan hal itu menurut perintahku semata), yakni menurut keinginan diriku sendiri.

Dzālika ta’wīlu (itulah penjelasan), yakni penafsiran.

Mā lam tas-thi‘ ‘alaihi shabrā (atas perkara-perkara yang kamu tidak sanggup bersabar terhadapnya), yakni yang membuatmu tidak dapat bersabar.


BACA JUGA Kajian Tafsir Al-Qur’an Juz Ke-16 untuk ayat lainnya

Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur’an

  1. Adapun dinding rumah itu adalah milik dua anak yatim di kota itu, yang di bawahnya tersimpan harta bagi mereka berdua, sedang ayahnya seorang yang saleh[11], maka Tuhanmu menghendaki agar keduanya sampai dewasa dan keduanya mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu. Apa yang kuperbuat[12] bukan menurut kemauanku sendiri[13]. Itulah keterangan perbuatan-perbuatan yang engkau tidak sabar terhadapnya[14].”

[11] Keadaan kedua anak yatim tersebut perlu diperhatikan, karena telah ditinggal wafat bapaknya ketika masih kecil. Allah menjaga keduanya karena kesalehan bapaknya.

[12] Yaitu melubangi perahu, membunuh anak muda, dan menegakkan kembali dinding yang hampir roboh.

[13] Bahkan ilham dari Allah Subhaanahu wa Ta’aala.

[14] Dalam kisah Musa dan Khidhir terdapat beberapa pelajaran, di antaranya:

Keutamaan ilmu,

  • Keutamaan mengadakan perjalanan untuk menuntut ilmu. Hal itu, karena Nabi Musa ‘alaihis salam lebih memilih mengadakan perjalanan panjang untuk mencari ilmu meninggalkan (sementara) mengajar dan membimbing Bani Israil.
  • Mendahulukan perkara yang terpenting di antara sekian yang penting. Nabi Musa ‘alaihis salam di samping mengajar, Beliau menyempatkan diri untuk belajar. Hal itu, karena air dalam sebuah teko, jika terus dituang, maka akan habis sehingga perlu diisi.
  • Bolehnya mengangkat pelayan baik ketika tidak safar maupun safar untuk memenuhi kebutuhannya.
  • Bepergian untuk mencari ilmu atau berjihad dsb. jika maslahat menghendaki untuk diberitahukan tujuannya dan kemana tujuannya, maka hal itu lebih sempurna daripada disembunyikan. Hal ini berdasarkan perkataan Nabi Musa ‘alaihis salam, “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua laut; atau aku akan berjalan (terus sampai) bertahun-tahun.” Demikian pula sebagaimana Nabi Muhammad ﷺ memberitahukan para sahabat ketika hendak pergi ke Tabuk padahal biasanya Beliau menyembunyikan. Oleh karena itu, dalam masalah ini dilihat maslahatnya.
  • Dihubungkannya keburukan dan sebab-sebabnya kepada setan karena godaan dan penghiasannya, meskipun semua terjadi dengan qadha’ Allah dan qadar-Nya.
  • Bolehnya seseorang memberitahukan keadaan dirinya yang menjadi tabi’at manusia, seperti lelah, lapar, haus, dsb. selama tidak menunjukkan marah-marah atau kesal dan kenyataannya memang demikian.
  • Dianjurkan memilih pelayan orang yang pandai dan cekatan agar urusan yang diinginkannya menjadi sempurna.
  • Dianjurkan seseorang memberikan makanan kepada pelayannya dengan makanan yang biasa dimakannya dan makan secara bersama-sama.
  • Pertolongan akan turun kepada seorang hamba sejauh mana ia menjalankan perintah Allah, dan bahwa orang yang mengikuti perintah Allah akan diberikan pertolongan tidak seperti selainnya.
  • Hendaknya seseorang memiliki sopan santun kepada guru dan berbicara kepadanya dengan perkataan yang halus. Perkataan Nabi Musa ‘alaihis salam, “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar yang telah diajarkan kepadamu (untuk menjadi) petunjuk?” seperti meminta pendapat, dan hal ini menunjukkan kelembutannya. Berbeda dengan orang-orang yang keras dan sombong, yang tidak menampakkan rasa butuh kepada ilmu gurunya.
  • Tawadhu’nya orang yang utama untuk belajar kepada orang yang berada di bawahnya.
  • Belajarnya seorang alim terhadap ilmu yang tidak dimilikinya kepada orang yang memilikinya, meskipun orang tersebut di bawah jauh derajatnya darinya. Oleh karena itu, tidak patut bagi seorang ahli fiqh dan ahli hadits jika ia kurang dalam ilmu nahwunya atau sharfnya atau ilmu lainnya tidak mau belajar kepada orang yang mengerti tentangnya, meskipun orang itu bukan ahli hadits atau ahli fiqh.
  • Penisbatan ilmu dan kelebihan lainnya kepada Allah Subhaanahu wa Ta’aala, mengakui bahwa ilmu atau kelebihannya itu berasal dari Allah. Hal ini berdasarkan kata-kata Nabi Musa ‘alaihis salam, ”Agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar yang telah diajarkan kepadamu.”
  • Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membimbing kepada kebaikan. Oleh karena itu, setiap ilmu yang di sana terdapat petunjuk kepada jalan-jalan kebaikan, memperingatkan jalan-jalan keburukan, atau sarana yang bisa mengarah kepadanya, maka ilmu tersebut termasuk ilmu yang bermanfaat.
  • Orang yang tidak kuat bersabar untuk tetap bersama seorang guru, maka kehilangan banyak ilmu sesuai ketidaksabarannya.
  • Sebab untuk bisa bersabar terhadap sesuatu adalah ketika seseorang mengetahui tujuan, faedah, buahnya dan hasilnya dari sesuatu itu.
  • Perintah agar seseorang tidak tergesa-gesa menghukumi sesuatu sampai mengerti maksud dan tujuannya.
  • Menyertakan kalimat “Insya Allah” terhadap perbuatan-perbuatan hamba di masa datang.
  • Seorang guru apabila melihat ada maslahatnya menyuruh murid agar tidak bertanya tentang sesuatu sampai guru tersebutlah yang nanti akan memberitahukan jawaban, maka bisa dilakukan. Misalnya karena guru melihat, bahwa pemahaman si murid masih sedikit atau khawatir akalnya tidak sampai atau karena ada masalah lain yang lebih penting untuk dipelajari olehnya.
  • Orang yang lupa tidaklah dihukum, baik terkait dengan hak Allah maupun hak manusia.
  • Sepatutnya seseorang mengambil sikap memaafkan ketika bergaul dengan manusia, dan tidak sepatutnya ia membebani mereka dengan beban yang tidak disanggupinya.
  • Perkara-perkara dihukumi sesuai zahirnya, dan bahwa hukum-hukum duniawi dikaitkan dengannya, baik dalam hal harta, darah maupun lainnya. Hal itu, karena Nabi Musa ‘alaihis salam mengingkari Khadhir ketika melubangi perahu dan membunuh anak, di mana hal ini zahirnya adalah perkara munkar.
  • Tidak mengapa melakukan keburukan yang ringan agar keburukan yang besar dapat disingkirkan, dan memperhatikan maslahat yang lebih besar dengan meninggalkan maslahat yang ringan. Membunuh anak merupakan keburukan, akan tetapi membiarkannya sehingga mengakibatkan ibu bapaknya kafir maka lebih buruk lagi.
  • Perbuatan yang dilakukan seseorang pada harta orang lain untuk maslahat orang lain itu dan menyingkirkan mafsadat adalah dibolehkan meskipun tanpa izinnya meskipun terkadang perlu merusak sedikit harta orang lain.
  • Bekerja boleh di laut, sebagaimana boleh pula di daratan.
  • Membunuh merupakan dosa yang besar.
  • Membunuh karena qishas bukan merupakan kemungkaran.
  • Hamba yang saleh, Allah jaga dirinya dan keturunannya.
  • Melayani orang yang saleh adalah amalan utama.
  • Memiliki adab terhadap Allah dalam menggunakan lafaz. Khidhir misalnya, ia menisbatkan kepada dirinya ketika melubangi perahu, adapun terhadap perbuatan baik, maka ia menisbatkannya kepada Allah.
  • Seorang sahabat hendaknya menemani sahabatnya yang lain, tidak berpisah dan meninggalkannya sehingga ia mengemukakan alasan.
  • Sepakatnya kawan yang satu dengan yang lain dalam masalah yang tidak terlarang merupakan sebab kuatnya persahabatan.
  • Perbuatan yang dilakukan Khadhir adalah taqdir Allah Subhaanahu wa Ta’aala semata yang Allah jalankan melalui tangan Khidhir untuk menunjukkan kepada manusia betapa lembutnya keputusan-Nya, dan bahwa Dia menaqdirkan untuk hamba perkara-perkara yang tidak disukainya, namun di sana terdapat kebaikan untuk agamanya atau dunianya. Hal ini juga agar mereka ridha dengan qadha’ dan qadar-Nya (lihat Tafsir As Sa’diy).

Hanya Allah Yang Maha mengetahui dan segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.

 

Artikel SebelumnyaApa yang Khidhir Perbuat Bukan Menurut Kemauannya Sendiri
Artikel SelanjutnyaKhidhir Memberikan Penjelasan Atas Perbuatannya