Mengenang Pengalaman Bersama Sahabatku

0
915

Ini hanya sekedar mengarsipkan suatu pengalaman indah, yang tak terlupakan. Mengenang Pengalaman Bersama Sahabatku yang baru ku kenal. penglaman ini sambungan dari Cerita “Jum’atan Pertama di Mesjidil Haram”

Setelah perjuangan mencari tempat kosong untuk duduk di Mesjidil Haram, pada jum’atan pertama ini, ada kisah yang tak terlupakan.

Selesai shalat dan berdo’a saya membuka HP. Saya bermaksud ingin bertadarus Al-Qur’an. Sebenarnya saya ingin mengambil Al-Qur’an yang mengisi rak-rak di sekitar jama’ah. Tetapi saya tidak mau menyia-nyiakan tempat duduk ditempati orang lain. Aplikasi Al-Qur’an pun saya buka. Tiba-tiba teman yang duduk di samping saya menyapa saya. Saya belum berkonsentrasi berkomunikasi dengan orang lain, apalagi baru pertama berjumpa.  Terus terang saya kaget. Hingga tidak tahu apa yang diucapkannya. Tetapi dia menunjuk mata saya. Saya pun mengusapnya barangkali ada cileuh (kecil-kecil geuleuh/jijik) di mata saya.

Dia pikir bukan itu yang dia maksud. Setelah mendengar kalimatnya, saya sedikit mengerti. Ternyata dia bertanya, “Kenapa kamu menangis?” spontan saya menjawab, “nothing.” Barangkali dia mengerti. Tetapi kelihatannya dia tidak mengerti terhadap bahasa yang asal-asalan saya ucapkan. Akhirnya saya ganti dengan mengucapkan, Hadzal baitil Adhiim. (sambil mengangkat tangan saya ke sekitar mesjid yang di depan saya terlihat Ka’bah). Wawajhakal kariim (sambil mengangkat tangan saya ke atas). Saya memberikan isyarah takut bahasa yang saya ucapkan salah.

Kemudian dia melihat HP saya dan mungkin bertanya “Apa itu?” Saya jawab dengan bahasa nasional saya, “ini HP.” Saya bergumam di dalam hati kenapa orang ini bertanya seperti itu dengan lughat yang tegas agak keras. Saya curiga dia mengintrogasi saya.

Beberapa percakapan meluncur antara kami berdua. Walau kurang dipahami. Dia bertanya, “Anta Indunisiyyi?” Saya hanya bisa menjawab na’am. Wa antum?” dengan tersenyum dia menjawab, “Al-‘arobi.” Saya baru mengerti, oh orang arab itu kalau berbicara kadang-kadang terdengar tegas tetapi terdengar juga lembut.

Saya melihat dia sangat menghargai bahasanya sendiri. Dia berbicara arab asli tidak terdengar campuran dengan bahasa lain. Sedangkan saya berbicara gado-gado. Kata yang sedikit tahu bahasa arabnya diucapkan dengan bahasa arab, bahasa arab sudah tak terpikirkan diganti dengan bahasa Inggris, Bahasa arab dan Inggris tidak tahu, saya ganti dengan bahasa sunda. Karena saya tahu dia tidak mengerti Bahasa Indonesia, walaupun konon katanya, tahun 2016 dia berencana berkunjung ke Indonesia.

Setelah tegur sapa kami berlangsung, dia mengajak saya mentadarus Al-Qur’an. Kebetulan yang sudah saya buka pada waktu itu.Surat Al-Baqarah. Kami baca bersama satu ayat. Kemudian dia menghentikan bacaannya. Sambil menunjukkan lafal dza yang rancu terdengar olehnya. Maklum dia penutur asli bahasa arab. Lafadz-lafadz yang salah dia berikan contoh pengucapannya. Beberapa kali saya mengikutinya, masih terdengar salah. Dia dengan sabar membimbing dan  memberikan contoh dalam pengucapan lafad aladzi. Setelah beberapa kali saya coba, akhirnya dia mengacungkan jempol. Mungkin waktu itu kebetulan saya mengucapkannya dengan benar,

Saya mengucapkan syukron kepadanya, sambil minta ma’af dengan Bahasa Indonesia. Ternyata saya lihat dia lebih senang mendengar bahasa Indonesia dari pada berlagak Inggris I want to practise my tangue in makhrozul huruf yang pernah saya ucapkan kepadanya.

Dia menunjukkan ke bawah ayat ada terjemah Bahasa Indonesia. Sahabatku bertanya, : “Tarjim?” Saya menjawab, : “Na’am.” Dan saya memberanikan diri menerjamahkannya secara harpiah. Beberapa ayat kami baca dan diterjamahkan secara harfiah. Bukan main bangganya saya waktu itu. Selain bisa bertadarus bareng, yang lebih membuat kagum saya yaitu ayat-ayat yang kami baca benar-benar memberikan inspirasi dan motivasi untuk beribadat terutama di situasi jutaan jema’ah sama-sama mencari nur Ilahiyah.

Salah satu firman-Nya yang kami baca berbunyi, : “Innal quwwata lillahi jamii’an.” Sseungguhnya kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya. Saya ini lemah, hanya bergantung kepada kekuatan Allah. Ayat ini terus dipegang selama peribadatan di tengah jutaan jema’ah tersebut.

Subhanalloh, syukron lillah, terima kasih sahabatku. Kalaupun kita tidak bisa dipertemukan kembali di dunia ini. Semoga Allah mempertemukan kita di Akhirat kelak dalam kebahagiaan.

Amin.      

 

 

Artikel SebelumnyaJum’atan Pertama di Mesjidil Haram
Artikel SelanjutnyaPulang Shalat Jum’at dari Mesjidil Haram

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini