Surah Al-Baqarah Ayat 158, Latin, Arti, dan Tafsir Pilihan

Kajian Tafsir: Surah Al-Baqarah Ayat 158

0
40

Surah Al-Baqarah Ayat 158 menjelaskan tentang Safa dan Marwah sebagai bagian dari syiar agama Allah. Ayat ini menegaskan pentingnya melaksanakan sa’i sebagai bagian dari ibadah haji dan umrah.

Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman:

اِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَاۤىِٕرِ اللّٰهِ ۚ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ اَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ اَنْ يَّطَّوَّفَ بِهِمَا ۗ وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًاۙ فَاِنَّ اللّٰهَ شَاكِرٌ عَلِيْمٌ

.

Tulisan Latin dan Arti Al-Baqarah Ayat 158

Mari kita simak keindahan surah Al-Baqarah ayat 158 dengan melihat teks dalam tulisan latin dan artinya.

Innash shafā wal marwata (sesungguhnya Shafa dan Marwah).

Miη sya‘ā-irillāhi (adalah termasuk syiar-syiar Allah).

Fa man hajjal baita awi‘tamara fa lā junāha ‘alaihi ay yath-thawwafa bi himā (maka siapa saja yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa baginya untuk mengerjakan sa‘i pada keduanya).

Wa maη tathawwa‘a khairan (dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan secara suka rela).

Fa innallāha syākirun (maka sesungguhnya Allah Maha mensyukuri [kebaikan]).

‘Alīm (lagi Maha Mengetahui).

Simak: Surah Al-Baqarah Ayat 286: Merenungi Makna Doa Orang Mukmin

.

Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 158

Mari kita bersama-sama merenungkan makna apa yang tafsir sampaikan mengenai Surah Al-Baqarah ayat 158 ini.

.

Tafsir Ibnu Abbas

(sesungguhnya Shafa dan Marwah), yakni tawaf antara Shafa dan Marwah.

(adalah termasuk syiar-syiar Allah), yakni termasuk manasik haji yang diperintahkan Allah Ta‘ala.

(maka siapa saja yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa baginya untuk mengerjakan sa‘i pada keduanya), yakni antara keduanya.

(dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan secara suka rela), yakni barangsiapa menambah tawaf yang wajib.

(maka sesungguhnya Allah Maha mensyukuri [kebaikan]), maksudnya Dia akan menerimanya.

(lagi Maha Mengetahui) niat kalian. Menurut pendapat yang lain, maka sesungguhnya Allah Maha Bersyukur. Dia akan mensyukuri yang sedikit, seraya membalasnya dengan berlimpah.

Simak: Ayat Kursi, Pencerahan Jiwa dan Kehadiran Ilahi

.

Tafsir Hidayatul Insan

[16] Sesungguhnya Shafa dan Marwah merupakan sebagian syi’ar Allah[17]. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa baginya[18] mengerjakan sa’i antara keduanya. Barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan[19] dengan kerelaan hati[20], maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri[21] lagi Maha mengetahui[22].

[16] Imam Bukhari meriwayatkan dari Urwah, bahwa ia berkata: Aku pernah bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha, Beritahukanlah kepadaku firman Allah Ta’ala, Innash shafa wal marwata…dst. sampai ay yaththawwafa bihimaa. Demi Allah, (yang demikian menunjukkan) tidak ada dosa bagi seseorang untuk tidak bersa’i antara Shafa dan Marwah.

Aisyah menjawab, Buruk sekali apa yang kamu katakan, wahai putera saudariku! Sesungguhnya ayat ini jika seperti apa yang kamu tafsirkan, maka berarti tidak ada dosa bagi seseorang untuk tidak bersa’i antara Shafa dan Marwah. Akan tetapi, ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang Anshar, di mana mereka sebelum masuk Islam berihlal (bertalbiyah) untuk berhala Manat yang mereka sembah di Musyallal. Di antara orang yang berihlal itu merasa berdosa bersa’i antara Shafa dan Marwah.

Ketika mereka telah masuk Islam, mereka bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang hal itu. Mereka bertanya, Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami merasa berdosa bersa’i antara Shafa dan Marwah, maka Allah menurunkan ayat, Innash shafaa wal marwata min sya’aairillah..dst. Aisyah berkata, Rasulullah ﷺ telah menetapkan bersa’i antara Shafa dan Marwah, oleh karena itu tidak boleh bagi seorang pun meninggalkan bersa’i antara Shafa dan Marwah.

Kemudian Aisyah memberitahukan kepada Abu Bakar bin Abdurrahman, lalu Abu Bakar berkata, Sesungguhnya ilmu ini belum pernah aku dengar. Bahkan aku mendengar beberapa orang ahli ilmu menyebutkan, bahwa orang-orang selain yang disebutkan Aisyah yang berihlal dengan Manat- mereka bersa’i di Shafa dan Marwah. Karena Allah Ta’ala hanya menyebutkan thawaf di Baitullah, dan tidak menyebutkan bersa’i antara Shafa dan Marwah dalam Al-Qur’an, mereka berkata, Wahai Rasulullah, kami bersa’i antara Shafa dan Marwah, padahal yang Allah turunkan (dalam kitab-Nya) adalah berthawaf di Baitullah dan tidak menyebutkan Shafa dan Marwah.

Oleh karena itu, apakah kami berdosa jika kami bersa’i di Shafa dan Marwah? Maka Allah menurunkan ayat, Innash shafaa wal marwata min sya’aairillah..dst. Abu Bakar berkata, Dengarkanlah ayat ini, ia turun berkenaan kedua pihak itu; tentang orang-orang yang merasa berdosa bersa’i antara Shafa dan Marwah di zaman Jahiliyyah dan orang-orang yang berthawaf (di Baitullah) kemudian mereka merasa berdosa bersa’i antara Shafa dan Marwah karena Allah Ta’ala hanya memerintahkan thawaf di Baitullah dan tidak menyebutkan bersa’i di Shafa sehingga bersa’i disebutkan setelah diterangkan thawaf di Baitullah.

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Anas, bahwa ia pernah ditanya tentang (bersa’i) antara Shafa dan Marwah, lalu ia menjawab, Kami memandang, bahwa (bersa’i) antara Shafa dan Marwah termasuk perkara Jahiliyyah. Ketika Islam datang, kami pun menahan diri (tidak melakukannya), maka Allah menurunkan ayat, Innash shafaa wal marwata min sya’aairillah..dst.

Namun demikian, tidak ada yang bahwa ayat tersebut turun berkenaan kedua pihak itu.

[17] Syi’ar Allah adalah tanda-tanda agama yang nampak atau tempat beribadah kepada Allah. Karena sebagai syi’ar-Nya, maka kita diperintahkan untuk memuliakannya, wa may yu’azzhim sya’aairallah fa innahaa min taqwal quluub (dan barangsiapa yang memuliakan syi’ar-syi’ar Allah, maka hal itu timbul dari ketakwaan yang ada di dalam hati).

[18] Allah mengungkapkan dengan perkataan tidak ada dosa (padahal hukumnya wajib) sebab sebagian sahabat Rasulullah ﷺ merasa keberatan mengerjakannya sa’i di situ, karena tempat itu bekas tempat berhala. dan di masa jahiliyah pun tempat itu digunakan sebagai tempat sa’i. Untuk menghilangkan rasa keberatan itu, Allah menurunkan ayat ini.

[19] Yakni yang disyari’atkan Allah, seperti shalat, puasa, hajji, umrah, thawaf dsb. Hal ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang mengerjakan perkara yang tidak disyari’atkan (bid’ah), maka tidak ada yang diperoleh selain kelelahan, bukan kebaikan, bahkan bisa menjadi keburukan jika ia melakukannya dengan sengaja dan mengetahui bahwa hal itu tidak disyari’atkan.

[20] Yakni ikhlas karena Allah. Ada pula yang mengartikan mengerjakan amalan yang tidak wajib baginya.

[21] Allah mensyukuri hamba-Nya: memberi pahala terhadap amal-amal hamba-Nya, jika sedikit dibalas-Nya dengan balasan yang banyak, Dia tidak menyia-nyiakan amalan hamba-hamba-Nya, dan tidak mengurangi meskipun seberat dzarrat (debu). Jika seorang hamba mengerjakan perintah-Nya Dia akan membantu, memujinya dan akan memberikan balasan berupa cahaya, iman dan kelapangan di hatinya, pada badannya akan diberikan kekuatan dan semangat dan pada semua keadaannya akan diberikan keberkahan dan tambahan, sedangkan pada amalnya akan ditambah lagi dengan taufiq-Nya.

Pada hari kiamat, pahala yang diperoleh seorang hamba tersebut akan dipenuhkan dan tidak akan dikurangi. Di antara syukur-Nya kepada hamba-Nya adalah bahwa barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik. Barangsiapa yang mendekat kepada-Nya sejengkal, maka Allah akan mendekat kepadanya sehasta, barangsiapa yang mendekat kepada-Nya sehasta, maka Dia akan mendekat kepada orang itu sedepa dan barangsiapa yang mendekat kepada-Nya sambil berjalan, maka Dia akan mendekat kepadanya sambil berlari.

[22] Allah Subhaanahu wa Ta’aala juga mengetahui siapa yang berhak memperoleh pahala yang sempurna sesuai niat, iman dan ketakwaannya, Dia mengetahui amalan-amalan yang dikerjakan hamba-hamba-Nya, oleh karenanya Dia tidak akan menyia-nyiakannya, bahkan hamba-hamba-Nya akan memperoleh balasan yang lebih banyak dari apa yang merekjakerjakan sesuai niat mereka yang diketahui oleh Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

.

Tafsir Jalalain

(Sesungguhnya Safa dan Marwah) nama dua bukit di Mekah.

(adalah sebagian dari syiar-syiar Allah) tanda-tanda kebesaran agama-Nya, jamak dari ‘syaa`irah.’

(Barang siapa yang melakukan ibadah haji atau umrah) artinya memakai pakaian haji atau umrah. Asal makna keduanya adalah menyengaja dan berkunjung.

(maka tiada salah baginya) artinya ia tidak berdosa.

(mengerjakan sai) asalkan sebanyak tujuh kali. Ayat ini turun tatkala kaum muslimin tidak bersedia melakukannya, disebabkan orang-orang jahiliah dulu biasa tawaf di sana sambil menyapu dua berhala yang terdapat pada keduanya.

Menurut Ibnu Abbas bahwa sai itu hukumnya tidak wajib, hanya takhyir, artinya dibolehkan memilih sebagai akibat tidak berdosa. Tetapi Syafii dan ulama lainnya berpendapat bahwa sai adalah rukun dan hukum fardunya dinyatakan oleh Nabi ﷺ dengan sabdanya, Sesungguhnya Allah mewajibkan sai atas kamu. (H.R. Baihaqi) Sabdanya pula, Mulailah dengan apa yang dimulai Allah, yakni Shafa. (H.R. Muslim) (Dan barang siapa yang dengan kemauan sendiri berbuat) ada yang membaca ‘Taththawwa`a’, yaitu dengan ditasydidkan ta pada tha, lalu diidgamkan (suatu kebaikan) maksudnya amalan yang tidak wajib seperti tawaf dan lain-lainnya (maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri) perbuatannya itu dengan memberinya pahala (lagi Maha Mengetahui).

Hanya Allah Yang Maha mengetahui dan segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.

 

Halaman:  1      3

 

Artikel SebelumnyaAl-Baqarah Ayat 158, Menurut Tafsir Ibnu Katsir
Artikel SelanjutnyaAl-Baqarah Ayat 157, Membaca Istirja’ di Saat Tertimpa Musibah