Ukuran yang Diperoleh Ahli Waris dari Harta Warisan

Kajian Tafsir Surah An-Nisaa’ ayat 12

0
198

Kajian Tafsir Surah An-Nisaa’ ayat 12. Menerangkan ukuran yang diperoleh ahli waris dari harta warisan. Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman:

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ

Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) setelah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan setelah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) setelah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau (dan) setelah dibayar hutangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. (Q.S. An-Nisaa’ : 12)

.

Tafsir Ibnu Abbas

… Wa ing kāna rajulun (dan jika dia [orang yang meninggal] itu laki-laki) yang tidak mempunyai anak dan ayah, dan tidak pula mempunyai kerabat dari anak ataupun ayah.

Yūratsu kalālatan (yang diwarisi oleh kalālah), yakni yang menjadi ahli warisnya adalah kalālah. Yang dimaksud kalālah adalah saudara laki-laki atau saudara perempuan seibu.

Awimra-atun (atau perempuan), yakni perempuan yang hanya meninggalkan kalālah. Ada yang berpendapat bahwa kalālah adalah ahli waris selain anak dan ayah. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa kalālah adalah harta yang tidak diwarisi oleh ayah dan anak.

Wa lahū (tetapi dia mempunyai), yakni orang yang meninggal itu mempunyai.

Akhun au ukhtun (seorang saudara laki-laki atau seorang saudara perempuan), yakni saudara laki-laki seibu atau saudara perempuan seibu.

Fa li kulli wāhidim minhumas sudusu fa ing kānū ak-tsara miη dzālika fa hum syurakā-u fits tsulutsi (maka masing-masing dari kedua saudara itu mendapat seperenam. Namun, jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam bagian yang sepertiga itu). Untuk ketentuan ini, laki-laki dan perempuan sama besarnya.

Mim ba‘di washiyyatiy yūshā bihā au dainin (sesudah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau sesudah dibayar utangnya), yakni sesudah semua utangnya dilunasi, dan wasiat yang ia buat dilaksanakan dengan batas maksimal sepertiga.

Ghaira mudlārrin (dengan tidak memberi mudarat) kepada para ahli waris, dengan melaksanakan wasiat yang lebih dari sepertiga.

Washiyyatam minallāh ([inilah] Kewajiban dari Allah), yakni inilah Ketentuan dari Allah Ta‘ala untuk kalian perihal pembagian harta peninggalan.

Wallāhu ‘alīmun (dan Allah Maha Mengetahui) hal ihwal pembagian harta peninggalan.

Halīm (lagi Maha Penyantun) dengan tidak segera menimpakan hukuman kepada kalian berkaitan dengan kejahilan dan perilaku khianat yang terjadi di antara kalian dalam hal pembagian harta peninggalan.

.

Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur’an

… Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah[15] dan tidak meninggalkan anak[16], tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu[17], setelah dipenuhi wasiat yang dibuatnya[18] atau (dan) setelah dibayar hutangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris)[19]. Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.

[15] Dan kakek dst. ke atas .

[16] Anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki dst. ke bawah. Ahli waris yang tidak meninggalkan bapak/kakek dan anak/cucu disebut dengan kalalah. Berdasarkan ayat ini, maka bapak/kakek dan anak/cucu ketika ada menghalangi saudara/i seibu mendapatkan bagian 1/6 atau 1/3.

[17] Yakni mereka tidak lebih dari 1/3 meskipun jumlahnya lebih dari dua. Ayat ini juga menunjukkan bahwa yang laki-laki dan yang wanitanya mendapatkan bagian yang sama, karena lafaz syurakaa di ayat tersebut menunjukkan sama. Kata-kata Fahum syurakaa’ fits tsuluts menunjukkan bahwa saudara sekandung menjadi gugur (tidak mendapat warisan) dalam masalah yang biasa disebut sebagai masalah Himaariyyah (dinamakan himariyyah menurut riwayat adalah karena dalam kasus seperti ini, seorang hakim pernah memutuskan bahwa saudara sekandung tidak mendapatkan bagian, sehingga yang tidak mendapatkan bagian ini berkata, Katakanlah ayah kami himar (keledai) atau batu yang dicampakkan ke laut, namun bukankah ibu kami satu? Mengapa saudara seibu dapat pusaka, padahal kami juga seibu dengan mereka, tetapi mengapa tidak dapat?) ,yaitu ketika si mati meninggalkan suami, ibu, saudara/i seibu dan saudara kandung. Suami mendapatkan 1/2, ibu mendapatkan 1/6, saudara/i seibu mendapatkan 1/3, sedangkan saudara-saudara sekandung gugur (karena harta habis). Hal itu, karena Allah menyandarkan 1/3 kepada saudara/i seibu, jika sekiranya saudara-saudara sekandung ikut mengambil bagian, tentu hal ini sama saja menyatukan masalah yang Allah memisahkannya. Di samping itu, saudara/i seibu tergolong as-habul furudh (orang-orang yang berhak mendapat bagian tertentu), sedangkan saudara sekandung tergolong ‘ashabah. Nabi ﷺ bersabda, Berikanlah bagian ashabul furudh, sisanya untuk laki-laki yang terdekat. (lafaznya sudah disebutkan sebelumnya). Dalam masalah himariyyah ini, tidak ada sisa, karena bagiannya telah habis diambil oleh as-habul furudh sehingga saudara sekandung tidak mendapatkannya (gugur).

Adapun bagian saudara/i sekandung atau sebapak, maka sudah disebutkan di akhir surah An Nisaa’, Yastaftuunaka fil kalaalah…dst. Berdasarkan ayat tersebut seorang saudari sekandung atau sebapak mendapatkan 1/2, jika ada dua maka mendapatkan 2/3 (yakni ketika tidak ada anak/cucu, ayah/kakek dan tidak ada saudara sekandung atau sebapak).

Namun seorang saudari sekandung jika bersama seorang saudari sebapak atau beberapa orang saudari sebapak mengambil 1/2, sedangkan sisanya dari 2/3 yaitu 1/6 untuk seorang saudari atau beberapa orang saudari sebapak menyempurnakan 2/3. Contoh: seorang wafat meninggalkan saudari sekandung, saudari seayah dan paman sekandung, maka saudari sekandung mendapatkan ½, saudari seayah mendapatkan 1/6 menyempurnakan 2/3 dan sisanya untuk paman.

Saudari kandung mewarisi sebagai ‘ashabah ma’al ghair apabila si mati meninggalkan wanita yang termasuk far’ (anak, cucu, dst. ke bawah) yang mendapatkan warisan sebagai as-habul furuudh, sehingga saudari kandung menduduki saudara sekandung. Contoh saudari kandung mewarisi sebagai ‘ashabah ma’al ghair adalah seorang wafat meninggalkan puterinya, puteri anaknya yang laki-laki, saudari sekandung dan saudara seayah, maka untuk puteri adalah ½, untuk puteri dari anaknya yang laki-laki adalah 1/6 untuk menyempurnakan 2/3, saudari kandung mendapatkan sisanya, sedangkan saudara seayah tidak mendapatkan apa-apa.

Jika beberapa orang-orang saudari sekandung menghabiskan 2/3, maka saudari-saudari sebapak gugur (tidak mendapatkan apa-apa) kecuali jika bersama mereka saudara sebapak yang berada sama dengan derajat mereka, maka mereka di’ashabahkan, sehingga sisanya untuk laki-laki dua orang bagian perempuan. Contoh: si mati meninggalkan dua orang saudari sekandung, saudari-saudari seayah dan seorang saudara seayah, maka dua orang saudari sekandung itu mendapat 2/3, dan sisanya dibagi antara saudara-saudara perempuan seayah dan saudara laki-laki seayah dengan pembagian bagian laki-laki dua kali bagian perempuan.

Jika beberapa orang saudara itu terdiri dari laki-laki dan perempuan (yakni jika bersama saudari kandung ada saudara laki-laki sekandung), maka saudari kandung menempati posisi ‘ashabah bil ghair, sehingga bagiannya adalah seorang saudara laki-laki adalah dua bagian perempuan. Wallahu a’lam bish shawab.

Kesimpulan

As-habul Furuudh dari pihak Laki-laki

No.

Nama As-habul Furuudh

Fardh

Syarat

1.

Ayah

1/6

Jika bersama far’/keturunan yang laki-laki (anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki)

1/6 dan ‘ashabah

Jika bersama anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki

‘Ashabah

Jika tidak ada far’/keturunan laki-laki atau perempuan (anak/cucu dari anak laki-laki)

2.

Suami

1/4

Jika bersama anak atau cucu dari anak laki-laki, baik laki-laki maupun perempuan. Jika far’nya bukan termasuk ahli waris seperti puteri dari puteri, maka ia tidaklah mengurangi bagian suami atau isteri.

1/2

Jika tidak ada anak atau cucu, baik laki-laki maupun perempuan, baik dari dirinya maupun suami lain

3.

Kakek shahih (ayahnya ayah dst. ke atas)

1/6

Jika ada anak/cucu laki-laki

1/6 + sisa

Jika ada seorang anak perempuan/cucu perempuan, dan tidak ada anak/cucu laki-laki

‘Ashabah

Jika tidak ada ayah dan keturunan (anak/cucu)

Tertutup

Jika ada ayah

4.

Bagian saudara seibu (lain bapak)

1/6

Jika sendiri, dan tidak ada anak/cucu/ayah/kakek

1/3

Jika dua orang atau lebih, dan tidak ada anak/cucu/ayah/kakek

Tertutup (mahjub)

Jika ada anak/cucu/ayah/kakek

.

As-habul Furuudh dari pihak perempuan

No.

Nama As-habul furuudh

Fardh

Syarat

1.

Isteri Jika isteri lebih dari satu, maka mereka membagi rata dari 1/4 atau 1/8.]

1/4

Jika tidak ada anak atau cucu dari anak laki-laki, baik dari dirinya maupun isteri lain

1/8

Jika bersama anak atau cucu dari anak laki-laki

2.

Ibu

1/3

Jika tidak ada anak atau cucu dari anak laki-laki dan sejumlah (lebih dari satu) orang saudara

1/6

– Jika bersama anak atau cucu dari anak laki-laki, atau

– Sejumlah (lebih dari satu) saudara, baik pria maupun wanita Baik mereka laki-laki saja, atau laki-laki bersama wanita atau wanita saja, juga sama saja baik sekandung, seayah atau seibu.]

1/3 dari sisa harta peninggalan

Jika bersama ayah dan suami atau isteri

3.

Nenek

1/6 (baik sendiri maupun banyak)

Jika tidak ada ibu.

Tetutup

Jika ada ibu atau nenek yang lebih dekat kepada si mati.

4.

Anak perempuan

1/2

Jika seorang diri dan tidak ada anak laki-laki

2/3

Jika dua orang atau lebih dan tidak ada anak laki-laki

‘Ashabah

Jika bersama anak laki-laki, yakni bagian seorang laki-laki dua bagian wanita

5.

Cucu perempuan dari anak laki-laki

1/2

Jika seorang diri dan tidak ada anak laki-laki atau anak perempuan

2/3 (dibagi rata)

Jika dua orang atau lebih dan tidak ada anak/cucu laki-laki

1/6

Jika bersama seorang anak perempuan (tidak meninggalkan anak laki-laki atau cucu laki-laki) menyempurnakan 2/3

‘Ashabah

Jika bersama dengan cucu laki-laki

Tertutup

– Jika ada anak laki-laki,

– Jika ada dua puteri atau lebih, kecuali jika bersama mereka ada cucu laki-laki dari anak laki-laki yang sederajat atau di bawah mereka sehingga mereka menjadi ‘ashabah

6.

Saudari kandung

1/2

Jika seorang diri dan tidak ada anak/cucu, ayah/kakek dan tidak ada saudara sekandung

2/3

Jika 2 orang atau lebih dan tidak ada anak/cucu, ayah/kakek dan tidak ada saudara sekandung

‘Ashabah bil ghair

Jika bersama saudara laki-laki sekandung dan tidak ada orang-orang di atas, bagian seorang laki-laki adalah dua bagian perempuan.

‘Ashabah ma’al ghair

Jika bersama anak perempuan/cucu perempuan dari anak laki-laki, ia mengambil sisanya setelah anak perempuan atau cucu perempuan mengambil bagian sebagai as-habul furudh

Tertutup

Ketika ada ahli waris far’ yang laki-laki seperti anak/cucu dan ketika ada ahli waris ushul seperti bapak, adapun oleh kakek masih ada khilaf

7.

Saudari seayah

1/2

Jika sendiri dan tidak ada anak atau cucu, saudara sebapak, saudari sekandung dan ayah/kakek.

2/3

Jika ada 2 orang atau lebih dan tidak ada anak atau cucu, saudara dan ayah/kakek.

1/6

Jika bersama-sama dengan seorang saudari kandung, tanpa saudara laki-laki.

‘Ashabah bighairih

Jika ada saudara laki-laki sebapak, seorang laki-laki mendapatkan dua bagian perempuan.

‘Ashabah ma’a ghairih

Jika bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan, ia mengambil sisanya setelah anak perempuan atau cucu perempuan mengambil bagian sebagai as-habul furudh.

8.

Saudari seibu (lain bapak)

1/6

Jika sendiri, dan tidak ada anak/cucu/ayah/kakek

1/3

Jika dua orang atau lebih, dan tidak ada anak/cucu/ayah/kakek

Tetutup

Jika ada anak/cucu/ayah/kakek

Faedah:

Jika ada pertanyaan, Apakah hukum warisan pembunuh, budak, orang yang berbeda agama, muba’adh (budak yang separuh dirinya merdeka), khunta (banci), kakek bersama saudara-saudara bukan seibu, ‘aul, radd, dzawul arham, ‘ashabah lainnya, saudari-saudari tidak seibu beserta anak perempuan atau puteri dari anak laki-laki bisa diambil dari Al Qur’an? Jawab: Ya, di dalam Al Qur’an terdapat isyarat yang halus yang memang agak sulit dipahami bagi orang yang kurang cermat. Tetapi di sana ada yang menunjukkan demikian.

  • Tentang pembunuh dan orang yang berlainan agama, keduanya tidak mendapatkan warisan berdasarkan penjelasan hikmah ilahi yang membagikan harta kepada ahli waris sesuai kedekatan mereka dan manfaat bagi mereka baik manfaat agama maupun dunia. Hikmah ini diisyaratkan oleh firman Allah, Laa tadruuna ayyuhum aqrabu lakum naf’aa (kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu). Kita mengetaui bahwa seorang pembunuh berusaha menimpakan bahaya, sehingga tidak ada dalam dirinya sesuatu yang mendorong untuk diberi warisan, di samping itu, dalam pembunuhan memutuskan tali silaturrahim, dan lagi ada kaidah Manis ta’jala qabla awaanihi ‘uuqiba bihirmaanih (Barang siapa yang terburu-buru sebelum tiba waktunya, maka ia diberi hukuman dengan tidak memperolehnya). Adapun tentang berlainan agama, Ibnul Qayyim berkata dalam Jalaa’ul Afhaam, Perhatikanlah makna ini dalam ayat tentang warisan dan pengkaitan dari Allah Subhaanahu wa Ta’aala terhadap waris-mewarisi dengan lafaz zaujah (istri), tidak dengan lafaz mar’ah (wanita) sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala, Wa lakum nishfu maa taraka azwaajukum (untuk kamu separuh dari harta yang ditinggalkan istri-istrimu) sebagai pemberitahuan bahwa waris-mewarisi hanyalah terjadi jika terjalin hubungan pernikahan yang menghendaki kesamaan dan keserasian. Orang mukmin dan orang kafir tidaklah sama dan tidak serasi, sehingga tidak mungkin terjadi antara keduanya saling waris-mewarisi. Rahasia satuan kata dalam Al Qur’an dan gabungannya dengan kata yang lain memang berada di atas akal seluruh makhluk.
  • Adapun budak, maka ia tidaklah mewarisi dan tidak pula diwarisi. Keadaannya tidak diwarisi adalah jelas, karena memang ia tidak memiliki harta untuk diwarisi, bahkan apa yang ada padanya semuanya untuk tuannya. Adapun keadaannya tidak mewarisi adalah karena ia tidak memiliki, kalau pun memiliki, maka itu untuk tuannya. Dengan demikian, budak adalah orang ajnabiy (asing) bagi si mati. Ayat Wa lakum nishfu maa taraka azwaajukum (dan untuk kamu separuh dari hharta yang ditinggalkan istrimu) diperuntukkan bagi orang yang siap memiliki, adapun budak tidak demikian. Dari sini diketahui, bahwa budak tidak mewarisi.
  • Adapun orang yang dalam dirinya terdapat separuh budak dan separuh merdeka (muba’adh), maka hukumnya terbagi dua. Bagian dirinya yang merdeka berhak mendapatkan warisan, sedangkan bagiannya yang masih budak, tidak mendapatkan warisan. Dengan demikian, hartanya dibagi dua, ia mewarisi dan diwarisi, namun dihalangi sesuai kebudakan yang ada dalam dirinya.
  • Adapun khuntsa (banci), maka tidak lepas dari kemungkinan diketahui apakah ia laki-laki atau wanita atau kemungkinan musykjil (samar). Jika diketahui laki-laki atau perempuan, maka masalahnya beres, namun jika musykil (misalnya memiliki kelamin ganda), maka jika bagian warisannya tidak berubah baik ia sebagai laki-laki atau perempuan –seperti halnya saudara seibu-, maka masalahnya jelas. Namun jika bagiannya berbeda jika ditentukan sebagai laki-laki atau perempuan, di antara ulama ada yang berpendapat dengan memperhatikan dari mana air kencingnya keluar. Jika tidak bisa, maka dengan memperhatikan tanda kedewasaannya (tanda bagi laki-laki misalnya tumbuh janggut dan kumis, suara besar dsb. sedangkan tanda bagi perempuan misalnya tumbuh buah dada, haidh, hamil, dsb.), namun jika tidak berhasil juga dan tidak ada cara untuk mengetahuinya, maka kita tidak memberikannya bagian yang terbesar dari dua kemungkinan (laki-laki atau perempuan) dan tidak memberikan sedikit, bahkan sisanya ditunda sampai keadaannya jelas. Atau jika terus menerus tidak jelas, maka dengan jalan tengah, yakni memberikan bagian pertengahan di antara dua kemungkinan, berdasarkan ayat, I’diluu huwa aqrabu lit taqwa (berbuat adillah, karena ia lebih dekat kepada takwa), dan Allah tidak membebani kecuali sesuai dengan kesanggupan kita.
  • Adapun bagian kakek bersama bersama beberapa saudara sekandung atau sebapak, yakni apakah saudara tersebut mewarisi bersamanya atau tidak, maka Al Qur’an lebih menunjukkan kepada pendapat Abu Bakar Ash Shiddiq, yakni bahwa kakek menghalangi saudara sekandung atau sebapak atau pun saudara seibu sebagaimana bapak menghalangi mereka. Hal ini, karena kakek dianggap sebagai bapak dalam beberapa ayat Al Qur’an, seperti di surah Al Baqarah: 133 dan surah Yusuf ayat 38. Jika cucu saja dianggap sebagai anak, maka kakek pun sama dianggap bapak. Para ulama juga sepakat bahwa jika kakek bagi bapak bersama putera dari saudara, maka kakek menghalangi putera dari saudara tersebut.
  • Adapun tentang ‘aul, maka hukumnya juga diambil dari Al Qur’an, yaitu karena Allah Ta’ala juga menetapkan untuk para ahli waris bagiannya, dan mereka itu berada di antara dua kemungkinan:
  1. Bisa berupa saling menghalangi antara satu dengan yang lain. Jika seperti ini, maka yang dihalangi gugur, tidak dapat mendesak dan memperoleh apa-apa.
  2. Namun jika tidak menghalangi satu sama lain, maka bisa berupa orang-orang yang mendapat bagian tertentu tidak menghabisi tarikah (harta peninggalan) dan masih ada sisa untuk ‘ashabah, atau menghabisi tanpa ditambah dan dikurang atau bagiannya dinaikkan terhadap tarikah. Dalam dua keadaan yang pertama, masing-masing mengambil jatahnya secara sempurna, sedangkan untuk keadaan yang terakhir, yakni ketika bagiannya terhadap tarikah dinaikkan, maka keadaan ini pun tidak lepas dari dua keadaan:
  • Kita mengurangi bagian sebagian ahli waris dan kita sempurnakan yang lain bagiannya, namun hal ini tidak tepat, karena sebagian mereka tidak lebih berhak daripada yang lain. Atau,
  • Kita berikan bagian masing-masing semampunya, yaitu menaikkan bagian atau fardhnya.

Contoh: harta peninggalan si mati senilai 84.000,00, ahli waris terdiri dari suami, saudari kandung dan saudari seibu, maka:

Ahli waris

Fardh

AM = 6 (KPK dari 2,2 & 6)

Suami

½ x 6

3

Saudari kandung

½ x 6

3

Saudari seibu

1/6 x 6

1

Anda dapat melihat jumlah 3 + 3 + 1 = 7 melebihi asal masalah, maka cara pembagiannya tidak 3/6, 3/6 dan 1/6, tetapi menjadi 3/7, 3/7 dan 1/7. Dengan ini selesailah masalahnya:

3/7 x 84.000 = 36.000

3/7 x 84.000 = 36.000

1/7 x 84.000 = 12.000

Lihat! 36.000 + 36.000 + 12.000 = 84.000

Habis bukan harta tersebut dan dapat dibagi secara adil. Inilah yang disebut dengan ‘Aul. Jika tidak di’aul tentu masih ada sisa.

Kebalikan dari ‘aul adalah radd, yakni ketika orang yang mendapat bagian tertentu tidak menghabisi tarikah, dan masih ada sisa, di samping itu tidak ada ‘ashabah yang dekat maupun jauh. Jika sisa tersebut diberikan kepada yang bukan kerabat si mati, maka hal tersebut merupakan kezaliman serta bertentang dengan ayat Wa ulul arhaami ba’dhuhum awlaa biba’dhin fii kitaabillah (surah Al Anfal: 75), maka tidak ada jalan lain selain mengembalikan kepada pemilik bagian (as-habul furudh). Kebanyakan ulama yang memegang radd berpendapat bahwa suami atau istri tidak berhak mendapatkan radd, namun yang lain berpendapat bahwa suami atau istri juga berhak mendapatkan radd.

Contoh radd:

Contoh: Harta peninggalan Rp. 36.000,00 , ahli waris: saudari sekandung, saudari seayah dan ibu. Maka:

Ahli waris

Fardh

AM = 6 menjadi 5

Dari 36.000,00

Saudari kandung

1/2

3/5 x 36.000

21.600

Saudari seayah

1/6

1/5 x 36.000

7.200

Ibu

1/6

1/5 x 36.000

7.200

Menjadi 5, karena jumlah 3 + 1 + 1 = 5.

Daftar Isi: Kajian Tafsir Al-Qur’an Juz Ke-4
  • Dari sini diketahui pula masalah Dzawul arham, yakni ketika si mati tidak meninggalkan as-habul furudh, demikian pula tidak meninggalkan ‘ashabah, maka harta itu bisa diserahkan kepada Baitul Maal untuk manfaat orang lain atau diberikan kepada kerabat yang disebut dzawul arham. Hal ini berdasarkan ayat, Wa ulul arhaam ba’dhuhum awlaa biba’dhin…dst. Oleh karenanya memberikan kepada orang lain padahal masih ada yang lebih dekat kepada si mati (yaitu Dzawul arham) sama saja memberikan kepada orang yang kurang berhak. Karena pembagian mereka tidak ada ketentuannya dalam kitab Allah, namun antara mereka dengan si mati ada perantara yang karenanya mereka tergolong kerabat, maka diposisikanlah mereka sesuai perantara yang menjadi perantara kepada si mati, inilah yang disebut dengan tanzil. Misalnya bibi dari pihak ayah dianggap sebagai pengganti ayah. Ia mewarisi sesuai bagian yang didapatkan ayah. Demikian pula bibi dari pihak ibu, ia mewarisi bagian ibu, dan diperlakukan layaknya ibu dalam warisan.
  • Adapun tentang warisan ‘ashabah, seperti bunuwwah (anak), ubuwwah (bapak), ukhuwwah (saudara dan anak-anaknya) dan umumah (paman dan anak-anaknya), maka hal ini ditunjukkan oleh hadits Berikanlah bagian ashabul furudh, sisanya untuk laki-laki yang lebih dekat. Sehingga jika ada sisa, maka diberikan kepada mereka sesuai urutan tersebut, dan yang terakhir setelah paman dan anak-anaknya jika tidak ada, maka yang mewarisinya adalah yang memerdekakan atau disebut wala’. Jika ‘ashabah tersebut dalam posisi yang sama, maka didahulukan yang lebih kuat, misalnya saudara sekandung dengan saudara seayah, maka saudara sekandung lebih didahulukan daripada saudara seayah. Jika sama kuatnya, maka mereka mengambil secara bersama-sama.
  • Adapun tentang beberapa saudari tidak seibu (yakni saudari sekandung atau sebapak) bersama dengan beberapa orang anak perempuan atau beberapa orang puteri dari anak laki-laki sebagai ‘ashabah ma’a gharih yang mengambil sisanya, maka karena di dalam Al Qur’an tidak ada ayat yang menunjukkan bahwa saudari-saudari tersebut gugur karena puteri. Dengan demikian, setelah anak perempuan mengambil bagiannya, maka sisanya diberikan kepada para saudari, tidak kepada ‘ashabah yang lebih jauh yaitu anak dari saudara laki-laki dan paman atau ‘ashabah lainnya lebih jauh, wallahu a’lam.
Berikutnya: Jika Seseorang Diwaris Secara Kalalah

[18] Yakni yang kurang dari 1/3. Wasiat ini diperuntukkan kepada selain ahli waris, adapun selain itu maka tidak diberlakukan kecuali dengan izin ahli waris.

[19] Menyusahkan ahli waris ialah melakukan tindakan-tindakan seperti: a. Mewasiatkan lebih dari sepertiga harta pusaka. b. Berwasiat dengan maksud mengurangi harta warisan. Meskpun kurang dari sepertiga bila ada niat mengurangi hak waris, juga tidak diperbolehkan.

Hanya Allah Yang Maha mengetahui dan segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.

Artikel SebelumnyaJika Seseorang Diwaris Secara Kalalah
Artikel SelanjutnyaHarta Warisan Para Isteri

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini