Tidak Akan Memikul Dosa Orang Lain

Tafsir Al-Qur’an: Surah An-Najm ayat 38-41

0
977

Kajian Tafsir: Surah An-Najm ayat 38-41 menerangkan bahwa seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain dan menerangkan tentang pembalasan yang adil yaitu bahwa setiap manusia tidak memperoleh apa-apa selain apa yang dia kerjakan dan usahakan. Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman:

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

أَلا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى (٣٨) وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى (٣٩) وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى (٤٠) ثُمَّ يُجْزَاهُ الْجَزَاءَ الأوْفَى (٤١)

(yaitu) bahwa seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya, dan sesungguhnya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya), kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna. (Q.S.  An-Najm : 38-41)

.

Tafsir Ibnu Abbas

Allā taziru wāziratuw wizra ukhrā (bahwa seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain), yakni seseorang yang menanggung dosa tidak akan menanggung dosa orang lain. Ada yang mengungkapkan, seseorang tidak akan mendapat azab lantaran dosa orang lain.

Wa al laisa lil iηsāni (dan bahwa seorang manusia tidak akan mendapatkan) pada hari kiamat.

Illā mā sa‘ā (selain apa yang telah diusahakannya), yakni selain kebaikan dan keburukan yang telah dia perbuat di dunia.

Wa anna sa‘yahū (dan bahwa usahanya), yakni amalnya.

Saufa yurā (kelak akan diperlihatkan) dalam buku catatan amal dan mizan (timbangan).

Tsumma yujzāhul jazā-al aufā (kemudian akan diberikan balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna), yakni dengan balasan yang paling berlimpah: kebaikan dibalas dengan kebaikan dan keburukan dibalas dengan keburukan.


Di sini Link untuk Kajian Tafsir Juz ke-27

Hidayatul Insan bi tafsiril Qur’an

  1. (yaitu) bahwa seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain,
  2. Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya[17],

[17] Maksudnya, setiap orang yang beramal, maka untuknya amalnya itu baik atau buruk, dia tidak mendapatkan amal dan usaha orang lain sedikit pun serta tidak akan memikul dosa orang lain.

Sebagian ulama berdalih dengan ayat ini untuk menerangkan bahwa semua ibadah tidak bisa dihadiahkan kepada orang-orang yang masih hidup maupun yang sudah mati, karena Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman, “Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya.” Oleh karena itu, sampainya usaha orang lain kepadanya bertentangan dengan ayat ini. Namun menurut Syaikh As Sa’diy, “Pendalilan ini perlu ditinjau kembali, karena ayat hanyalah menunjukkan bahwa seseorang tidaklah mendapatkan selain yang ia kerjakan sendiri. Ini jelas tidak ada khilaf, namun di ayat itu tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa tidak bermanfaat untuknya usaha orang lain jika orang lain menghadiahkan untuknya sebagaimana seseorang tidaklah memiliki harta selain yang ada dalam kepemilikannya dan yang ada pada tangannya, namun hal ini tidak berarti bahwa ia tidak dapat memiliki apa yang dihibahkan orang lain dari harta miliknya.

Faedah:

Ada beberapa amal yang bermanfaat bagi si mati, di antaranya:

  1. Doa orang muslim untuknya (lihat surah Al Hasyr: 10), Rasulullah ﷺ juga bersabda:

دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ

“Doa orang muslim untuk saudaranya tanpa di hadapannya adalah mustajab. Di dekatnya ada malaikat yang diserahkan (untuknya). Setiap kali ia mendoakan kebaikan untuk saudaranya, maka malaikat yang diserahkan untuknya berkata, “Amin (artinya: kabulkanlah ya Allah),” dan kamu memperoleh hal yang sama.” (HR. Muslim)

  1. Penunaian terhadap nadzarnya yang belum sempat dikerjakan baik puasa atau lainnya. Rasulullah ﷺ bersabda:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهما – : أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ – رضى الله عنه – اسْتَفْتَى رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا نَذْرٌ . فَقَالَ :« اقْضِهِ عَنْهَا

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Sa’ad bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu pernah meminta fatwa kepada Rasulullah ﷺ, maka Beliau bersabda, “Sesungguhnya ibuku wafat sedangkan dia punya nadzar (yang belum sempat ditunaikan)?” Maka Beliau bersabda, “Tunaikanlah untuknya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini juga menunjukkan bolehnya sedekah dari (atas nama) si mati, dan bahwa hal itu akan bermanfaat baginya yaitu dengan sampainya pahala sedekah kepadanya, terlebih jika yang melakukannya anaknya (lihat Fathul Bari dalam syarah hadits ini).

  1. Sedekah jariyah/yang mengalir (seperti waqaf)
  2. Ilmu yang bermanfaat
  3. Doa anak saleh untuk orang tuanya. Rasulullah ﷺ bersabda:

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Apabila anak Adam meninggal, maka terputuslah seluruh amalnya kecuali tiga; sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan atau anak shalih yang mendoakan (orang tua)nya.” (HR. Muslim)

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَرْفَعُ الدَّرَجَةَ لِلْعَبْدِ الصَّالِحِ فِي الْجَنَّةِ فَيَقُولُ يَا رَبِّ أَنَّى لِي هَذِهِ فَيَقُولُ بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ

“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla benar-benar meninggikan derajat untuk seorang hamba yang saleh di surga, lalu ia berkata, “Yaa Rabbi, dari mana aku mendapatkan hal ini?” Allah berfirman, “Karena permintaan ampunan dari anakmu untukmu.” (Hadits hasan, diriwayatkan oleh Ahmad)

  1. Peninggalannya yang baik. Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَ حَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا نَشَرَهُ وَ وَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ وَ مُصْحَفًا وَرَّثَهُ أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ أَوْ بَيْتًا لِابْنِ السَّبِيْلِ بَنَاهُ أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِي صِحَّتِهِ وَ حَيَاتِهِ تَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ

“Sesungguhnya di antara amalan dan kebaikan yang akan sampai kepada seorang mukmin setelah wafatnya adalah ilmu yang disebarkannya, anak saleh yang ditinggalkanya, mushaf Al Qur’an yang diwariskannya, masjid yang dibangunnya, rumah untuk Ibnussabil yang didirikannya, sungai yang dialirkannya, sedekah yang dikeluarkan dari hartanya di waktu sehat dan sewaktu hidupnya. Semua itu akan sampai kepadanya setelah meninggalnya.” (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi, lihat Shahihul Jaami’ no. 2231)

Imam As Suyuthiy membuatkan sya’ir menyebutkan hal-hal yang bermanfaat bagi seseorang setelah meninggalnya sbb:

اِذَا مَاتَ ابْنُ ادَمَ يَجْرِي عَلَيْهِ مِنْ فِعَالٍ غَيْرِ عَشْرٍ

عُلُوْمٍ بَثَّهَا وَدُعَاءِ نَجْلٍ وَغَرْسِ النَّخْلِ وَالصَّدَقَاتُ تَجْرِي

وَرَاثَةِ مُصْحَفٍ وَرِبَاطُ ثَغْرٍ وَحَفْرِ الْبِئْرِ أَوْ إِجْرَاءِ نَهْرٍ

وَبَيْتٍ لْلْغَرِيْبِ بَنَاهُ يَأْوِى إلَِيْهِ أَوْ بِنَاءِ مَحَلِّ ذِكْرٍ

“Apabila cucu Adam meninggal, maka mengalirlah kepadanya sepuluh perkara;,

Ilmu yang disebarkannya, doa anak saleh, pohon kurma yang ditanamnya serta sedekahnya yang mengalir,

Mushaf yang diwariskan dan menjaga perbatasan,

Menggali sumur, mengalirkan sungai, rumah untuk musafir yang dibangunnya atau membangun tempat ibadah.”

  1. Menjaga perbatasan negeri yang dikhawatirkan adanya serangan musuh (Ribath). Rasulullah ﷺ bersabda:

رِبَاطُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ خَيْرٌ مِنْ صِيَامِ شَهْرٍ وَقِيَامِهِ وَإِنْ مَاتَ جَرَى عَلَيْهِ عَمَلُهُ الَّذِى كَانَ يَعْمَلُهُ وَأُجْرِىَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ وَأَمِنَ الْفَتَّانَ

“Ribath sehari semalam lebih baik daripada puasa sebulan dengan qiyamullail, dan jika ia meninggal, maka amal yang dikerjakannya akan mengalir untuknya dan dialirkan rezekinya serta aman dari penguji kubur (aman dari fitnah kubur).” (HR. Muslim, Tirmidzi dan Nasa’i)

  1. Tanaman yang ditanamnya. Rasulullah ﷺ bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا إِلاَّ كَانَ مَا أُكِلَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَا سُرِقَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ مِنْهُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَا أَكَلَتِ الطَّيْرُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةً وَلاَ يَرْزَؤُهُ أَحَدٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةٌ

“Tidak ada seorang muslim yang menanam suatu tanaman kecuali yang dimakan darinya adalah sedekah baginya, yang dicuri darinya adalah sedekah baginya, yang dimakan binatang buas darinya adalah sedekah dan yang dimakan burung adalah sedekah, dan tidak dikurangi oleh seorang pun kecuali menjadi sedekah baginya.” (HR. Muslim)

  1. Menggali kubur untuk orang yang mati. Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا فَكَتَمَ عَلَيْهِ غُفِرَ لَهُ أَرْبَعِيْنَ مَرَّةً ، وَمَنْ كَفَنَ مَيِّتًا كَسَاهُ اللهُ مِنَ السُّنْدُسِ ، وَإِسْتَبْرَقِ الْجَنَّةِ ، وَمَنْ حَفَرَ لِمَيِّتٍ قَبْرًا فَأَجَنَّهُ فِيْهِ أُجْرِيَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ كَأَجْرِ مَسْكَنٍ أَسْكَنَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

“Barang siapa yang memandikan mayit, lalu ia menyembunyikan (cacat)nya, maka akan diampuni dosanya sebanyak empat puluh kali. Barang siapa yang mengkafani mayit, maka Allah akan memakaikan pakaian dari sutera tipis dan sutera tebal dari surga, dan barang siapa menggalikan kuburan untuk si mati, lalu ia menguburkannya, maka akan dialirkan pahala untuknya seperti pahala tempat yang ia buatkan sampai hari Kiamat.” (HR. Hakim, ia berkata, “Hadits ini shahih sesuai syarat Muslim,” dan disepakati oleh Adz Dzahabi)

  1. Mencontohkan sunnah Rasulullah ﷺ. Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ

“Barang siapa mencontohkan dalam Islam contoh yang baik, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkan setelahnya. Barang siapa yang mencontohkan sunnah yang buruk (seperti mencontohkan bid’ah), maka ia akan menanggung dosanya dan dosa orang yang mengamalkan setelahnya tanpa dikurangi sedikit pun dari dosa-dosa mereka.” (HR. Muslim: 2351)

  1. dan sesungguhnya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya),
  2. kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna[18],

[18] Yang baik dengan Al-Husna (yang terbaik), dan yang buruk dengan yang buruk, sedangkan yang bercampur maka disesuaikan dengan keadaannya sebagai balasan yang ihsan dan adil, dimana semuanya merasakan kepuasan dan Allah berhak mendapatkan segala puji terhadapnya, sehingga penghuni neraka masuk ke neraka sedangkan hati mereka penuh dengan pujian terhadap Tuhan mereka serta mengakui kebijaksanaan-Nya dan mereka marah kepada diri mereka sendiri, dan bahwa merekalah yang membuat diri mereka masuk ke tempat yang buruk itu.

.

Tafsir Jalalain

  1. (“Yaitu bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain) dan seterusnya. Lafal An adalah bentuk Mukhaffafah dari Anna; artinya bahwa setiap diri itu tidak dapat menanggung dosa orang lain.
  2. (Dan bahwasanya) bahwasanya perkara yang sesungguhnya itu ialah (seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya) yaitu memperoleh kebaikan dari usahanya yang baik, maka dia tidak akan memperoleh kebaikan sedikit pun dari apa yang diusahakan oleh orang lain.
  3. (Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan) kepadanya di akhirat.
  4. (Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna”) pembalasan yang paling lengkap. Diambil dari asal kata, Jazaituhu Sa’yahu atau Bisa’yihi, artinya, “Aku memberikan balasan terhadap usahanya, atau aku memberikannya balasan atas usahanya.” Dengan kata lain lafal Jazaa ini boleh dibilang sebagai Fi’il Muta’addi atau Fi’il Lazim.

.

Tafsir Ibnu Katsir

Kemudian Allah Swt. menjelaskan apa yang telah Dia wahyukan kepada Ibrahim dan Musa yang termaktub di dalam lembaran-lembaran masing-masingnya. Untuk itu Allah Swt. berfirman:

(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. (An-Najm: 38)

Yakni tiap-tiap diri yang berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri karena melakukan kekufuran atau suatu dosa, maka sesungguhnya yang menanggung dosanya adalah dirinya sendiri, tiada seorang pun yang dapat menggantikannya sebagai penanggungnya. Semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:

وَإِنْ تَدْعُ مُثْقَلَةٌ إِلَى حِمْلِهَا لَا يُحْمَلْ مِنْهُ شَيْءٌ وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى

Dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu, tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikit pun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. (Fathir: 18)

Adapun firman Allah Swt.:

dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. (An-Najm: 39)

Yaitu sebagaimana tidak dibebankan kepadanya dosa orang lain, maka demikian pula dia tidak memperoleh pahala kecuali dari apa yang diupayakan oleh dirinya sendiri.

Berdasarkan ayat ini Imam Syafii dan para pengikutnya menyimpulkan bahwa bacaan Al-Qur’an yang dihadiahkan kepada mayat tidak dapat sampai karena bukan termasuk amal perbuatannya dan tidak pula dari hasil upayanya. Karena itulah maka Rasulullah ﷺ tidak menganjurkan umatnya untuk melakukan hal ini, tidak memerintahkan mereka untuk mengerjakannya, tidak pula memberi mereka petunjuk kepadanya, baik melalui nas hadis maupun makna yang tersirat darinya. Hal ini tidak pernah pula dinukil dari seseorang dari para sahabat yang melakukannya. Seandainya hal ini (bacaan Al-Qur’an untuk mayat) merupakan hal yang baik, tentulah kita pun menggalakkannya dan berlomba melakukannya.

Pembahasan mengenai amal taqarrub itu hanya terbatas pada apa-apa yang digariskan oleh nas-nas syariat, dan tidak boleh menetapkannya dengan berbagai macam hukum analogi dan pendapat mana pun. Akan tetapi, berkenaan dengan doa dan sedekah (yang pahalanya dihadiahkan buat mayat), maka hal ini telah disepakati oleh para ulama, bahwa pahalanya dapat sampai kepada mayat, dan juga ada nas dari syariat yang menyatakannya.

Adapun mengenai hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya, dari Abu Hurairah r.a.. yang menyebutkan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda:

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: مِنْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ، أَوْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ مِنْ بَعْدِهِ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ

Apabila manusia mati, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, yaitu anak saleh yang mendoakannya, atau sedekah jariyah sesudah kepergiannya atau ilmu yang bermanfaat.

Ketiga macam amal ini pada hakikatnya dari hasil jerih payah yang bersangkutan dan merupakan buah dari kerjanya, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis:

إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ، وَإِنَّ وَلَدَهُ مِنْ كَسْبِهِ

Sesungguhnya sesuatu yang paling baik yang dimakan oleh seseorang adalah dari hasil upayanya dan sesungguhnya anaknya merupakan hasil dari upayanya.

Sedekah jariyah, seperti wakaf dan lain sebagainya yang sejenis, juga merupakan hasil upaya amal dan wakafnya. Allah Swt. telah berfirman:

إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُم

Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. (Yasin: 12)

Ilmu yang dia sebarkan di kalangan manusia, lalu diikuti oleh mereka sepeninggalnya, hal ini pun termasuk dari jerih payah dan amalnya. Di dalam kitab sahih disebutkan:

مَنْ دَعَا إِلَى هَدْيٍ كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنِ اتَّبَعَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا

Barang siapa yang menyeru kepada jalan petunjuk, maka baginya pahala yang semisal dengan pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi-pahala mereka barang sedikit pun.

Firman Allah Swt.:

Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). (An-Najm: 40)

Yakni kelak di hari kiamat, semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:

وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُون

Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”(At-Taubah: 105)

Yaitu kelak Dia akan memberitahukan kepada kalian amal perbuatan kalian dan membalaskannya terhadap kalian dengan pembalasan yang sempurna. Jika baik, maka balasannya baik; dan jika buruk, balasannya buruk. Demikian pula yang disebutkan dalam surat ini melalui firman-Nya:

Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna. (An-Najm: 41)

Maksudnya, balasan yang penuh.

Wallahu a’lam dan segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.

 

Artikel SebelumnyaKekuasaan Allah pada Makhluk-Nya
Artikel SelanjutnyaApakah Mempunyai Ilmu Tentang yang Gaib?