Tentang Warisan Kalalah

Kajian Tafsir Surah An-Nisaa’ ayat 176

0
247

Kajian Tafsir Surah An-Nisaa’ ayat 176. Tentang Warisan Kalalah.

Firman Allah Subhaanahu wa Ta’aala:

إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ

Jika seorang meninggal dunia. (An-Nisaa’: 176)

Sebelumnya: Allah Memberi Fatwa Tentang Kalalah 

Yang dimaksud dengan halaka (binasa) ialah meninggal dunia. Dalam ayat lain disebutkan melalui firman-Nya:

كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلا وَجْهَهُ

Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. (Al-Qashash: 88)

Maksudnya, segala sesuatu pasti binasa; tiada yang kekal kecuali hanya Allah Subhaanahu wa Ta’aala seperti makna yang terkandung dalam ayat lainnya, yaitu:

كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ. وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلالِ وَالإكْرَامِ

Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Zat Tuhanmu Yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. (Ar-Rahman: 26-27)

Adapun firman Allah Subhaanahu wa Ta’aala:

لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ

Dan ia tidak mempunyai anak. (An-Nisaa’: 176)

Ayat ini dijadikan pegangan oleh orang yang berpendapat bahwa bukan termasuk syarat waris-mewaris secara kalalah ketiadaan orang tua bahkan cukup bagi kalalah ketiadaan anak. Pendapat ini merupakan riwayat dari Umar ibnul Khattab yang diketengahkan oleh Ibnu Jarir dengan sanad yang sahih sampai kepada Umar radiyallahu ‘anhu.

Akan tetapi, hal yang dapat dijadikan rujukan dalam masalah ini adalah pendapat jumhur ulama dan peradilan As-Siddiq (Abu Bakar radiyallahu ‘anhu) yang mengatakan bahwa kalalah itu adalah orang yang tidak mempunyai anak, tidak pula orang tua (yakni ayah). Pengertian ini diperkuat oleh makna firman Selanjutnya yang mengatakan:

وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ

Sedangkan dia mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya. (An-Nisaa’: 176)

Dengan kata lain, seandainya saudara perempuannya itu dibarengi dengan ayah, niscaya ia tidak dapat mewarisi sesuatu pun karena hak warisnya di-mahjub (terhalang) oleh ayah, menurut kesepakatan se-mua ulama. Hal ini menunjukkan bahwa yang dinamakan waris-me-waris secara kalalah ialah bagi orang yang tidak mempunyai anak atas dasar nas Al-Qur’an; dan tidak pula mempunyai ayah, juga ber-dasarkan nas Al-Qur’an, jika direnungkan secara mendalam. Karena saudara perempuan tidak memperoleh bagian seperdua bila ada ayah, bahkan dia tidak dapat mewarisi sama sekali.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hakam ibnu Nafi’, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abdullah, dari Mak-hul dan Atiyyah, Hamzah serta Rasyid, dari Zaid ibnu Sabit, bahwa ia pernah ditanya mengenai masalah suami, saudara perempuan seayah dan seibu (sekandung). Maka Zaid ibnu Sabit seperdua dan saudara perempuan seibu dan seayah seperdua. Lalu ia menceritakan hal tersebut, bahwa ia pernah menghadiri ketika Rasulullah ﷺ memutuskan hal seperti itu.

Hadits diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid bila ditinjau dari segi ini.

Ibnu Jarir dan lain-lainnya menukil dari Ibnu Abbas dan Ibnuz Zubair, bahwa keduanya pernah mengatakan sehubungan dengan masalah seorang mayat yang meninggalkan seorang anak perempuan dan seorang saudara perempuan, bahwa saudara perempuan tidak mendapat apa-apa, karena berdasarkan firman-Nya:

إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ

Jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, (An-Nisaa’: 176)

Ibnu Jarir mengatakan, Apabila ia meninggalkan anak perempuan, berarti sama saja dengan meninggalkan anak. Karena itu, saudara perempuan tidak mendapat warisan.

Tetapi jumhur ulama berpendapat berbeda. Mereka mengatakan bahwa dalam masalah ini anak perempuan mendapat seperdua karena bagian yang telah dipastikan untuknya, sedangkan bagi saudara perempuan seperdua lainnya secara ta’sib (yakni ‘asabah ma’al gair), karena berdasarkan ayat lain. Sedangkan makna yang terkandung dalam ayat ini menaskan adanya bagian yang dipastikan bagi saudara perempuan dalam gambaran seperti ini. Cara mewaris dengan ta’sib, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari melalui jalur Sulaiman, dari Ibrahim ibnul Aswad yang menceritakan bahwa sahabat Mu’az ibnu Jabal pernah memutuskan terhadap kami di masa Rasulullah ﷺ seperdua bagi anak perempuan dan seperdua lainnya bagi saudara perempuan. Kemudian Sulaiman mengatakan bahwa dia memutuskan hal tersebut terhadap kami tanpa menyebutkan di masa Rasulullah ﷺ

Di dalam kitab Sahih Bukhari pula disebutkan dari Hazil ibnu Syurahbil yang menceritakan bahwa Abu Musa Al-Asy’ari pernah ditanya mengenai masalah anak perempuan, anak perempuan anak laki-laki, dan saudara perempuan. Abu Musa Al-Asy’ari menjawab, Anak perempuan mendapat seperdua harta peninggalan si mayat, dan saudara perempuan mendapat seperdua lainnya. Lalu mereka datang kepada sahabat Ibnu Mas’ud untuk menanyakan masalah itu. tetapi terlebih dahulu diceritakan kepadanya tentang pendapat Abu Musa. Ibnu Mas’ud menjawab, Kalau demikian, sesungguhnya aku menjadi sesat dan bukan termasuk orang yang mendapat petunjuk. Aku akan memutuskan perkara ini seperti apa yang pernah diputuskan oleh Nabi ﷺ, yaitu: Seperdua bagi anak perempuan,  bagi anak perempuan anak laki-laki seperenam untuk menyempurnakan bagian dua pertiga, sedangkan sisanya bagi saudara perempuan. Kami datang kepada Abu Musa dan menceritakan perkataan Ibnu Mas’ud itu kepadanya. Ia menjawab, Janganlah kalian bertanya kepadaku lagi selagi orang yang alim ini masih ada di antara kalian,

Firman Allah Subhaanahu wa Ta’aala:

وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ

Dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan) jika ia tidak mempunyai anak. (An-Nisaa’: 176)

Yakni saudara laki-laki mewarisi semua harta saudara perempuannya jika saudara perempuannya meninggal dunia secara kalalah dan tidak mempunyai anak. Dengan kata lain, tidak bersama ayah dan tidak bersama anak mayat; karena sesungguhnya jika saudara perempuannya itu mempunyai orang tua (ayah), maka saudara laki-laki tidak dapat mewarisinya barang sedikit pun.

Jika ternyata saudara laki-laki ada bersama orang yang mempunyai bagian yang pasti, maka bagian itu diberikan kepadanya seperti suami atau saudara laki-laki seibu, sedangkan sisanya diberikan ke-padanya.

Ditetapkan demikian karena berdasarkan sebuah hadits di dalam kitab Sahihain, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda:

أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا، فَمَا أَبْقَتِ الْفَرَائِضُ فَلأوْلَى رجلٍ ذَكَر

Berikanlah bagian-bagian yang pasti itu kepada pemiliknya masing-masing, sedangkan sisa dari bagian-bagian yang pasti itu diberikan kepada lelaki yang lebih berhak menerimanya dari ahli waris (asabah) yang ada.

Firman Allah Subhaanahu wa Ta’aala:

فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ

Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maku bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. (An-Nisaa’: 176)

Artinya, jika orang yang mati secara kalalah mempunyai dua orang saudara perempuan, maka bagian yang pasti bagi keduanya adalah dua pertiga. Hukum yang sama berlaku bila bilangan saudara perem-puan si mayat lebih dari dua orang.

Dari pengertian ini segolongan ulama menarik kesimpulan hukum waris dua anak perempuan, sebagaimana dapat ditarik kesimpulan pula hukum saudara-saudara perempuan dari hak waris anak-anak perempuan, yaitu yang ada dalam firman-Nya:

فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ

Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. (An-Nisaa’: 11)

Selanjutnya: Supaya Tidak Sesat 

Firman Allah Subhaanahu wa Ta’aala:

وَإِنْ كَانُوا إِخْوَةً رِجَالا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ

Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri atas) saudara-saudara lelaki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. (An-Nisaa’: 176)

Demikianlah hukum asabah dari anak-anak lelaki, cucu laki-laki, dan saudara-saudara lelaki, jika lelaki dari mereka berkumpul dengan perempuannya, yakni bagian lelaki sama dengan bagian perempuan dua orang.

Dikutif dari: Tafsir Ibnu Katsir

 

 

Artikel SebelumnyaSupaya Tidak Sesat
Artikel SelanjutnyaAllah Memberi Fatwa Tentang Kalalah

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini