Latar Belakang Turunnya Ayat 187

Kajian Tafsir: Surah Al-Baqarah ayat 187

0
114

Surah Al-Baqarah ayat 187 adalah salah satu ayat yang memiliki latar belakang turun yang penting dalam sejarah Islam. Menurut Tafsir Ibnu Katsir, ayat ini turun sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh para sahabat Nabi Muhammad ﷺ terkait tata cara berhubungan suami istri saat sedang melaksanakan iktikaf di masjid.

Berikut penjelasan Tafsur Ibnu Katsir

Latar belakang turunnya ayat ini telah disebutkan di dalam hadits Mu’az yang panjang yang telah disebutkan sebelumnya. Abu Ishaq meriwayatkan dari Al-Barra ibnu Azib, tersebutlah sahabat Rasulullah ﷺ bila seseorang dari mereka puasa, lalu ia tidur sebelum berbuka, maka ia tidak boleh makan sampai keesokan malamnya di waktu yang sama.

Sesungguhnya Qais ibnu Sirman dari kalangan Ansar sedang melaksanakan puasa. Pada siang harinya ia bekerja di lahannya. Ketika waktu berbuka telah tiba, ia datang kepada istrinya dan mengatakan, Apakah kamu mempunyai makanan? Si istri menjawab, Tidak, tetapi aku akan pergi dahulu untuk mencarikannya buatmu. Ternyata Qais sangat lelah hingga ia tertidur. Ketika istrinya datang, si istri melihatnya telah tidur; maka ia berkata, Alangkah kecewanya engkau, ternyata engkau tertidur.

Ketika keesokan harinya, tepat di siang hari Qais pingsan, lalu hal itu diceritakan kepada Nabi ﷺ Kemudian turunlah ayat ini, yaitu: Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian, sampai dengan firman-Nya dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. (Al-Baqarah: 187) Maka mereka amat gembira dengan turunnya ayat ini.

Lafaz hadits Imam Bukhari dalam bab ini diketengahkan melalui Abu Ishaq, dari Al-Barra yang menceritakan bahwa ketika ayat puasa bulan Ramadhan  diturunkan, mereka tidak menggauli istri-istri mereka sepanjang bulan Ramadhan , dan kaum laki-laki berkhianat terhadap dirinya sendiri. Maka Allah Subhaanahu wa Ta’aala menurunkan firman-Nya: Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu kalian, karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf kepada kalian. (Al-Baqarah: 187)

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa kaum muslim pada mulanya dalam bulan Ramadhan  bilamana mereka telah shalat Isya, maka diharamkan atas mereka wanita dan makanan sampai dengan waktu yang semisal pada keesokan malamnya. Kemudian ada segolongan kaum muslim yang menggauli istri-istri mereka dan makan sesudah shalat Isya dalam bulan Ramadhan , di antaranya ialah Umar ibnul Khattab. Maka mereka mengadukan hal tersebut kepada Rasulullah ﷺ Lalu Allah menurunkan firman-Nya: Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu kalian, karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf kepada kalian. Maka sekarang campurilah mereka. (Al-Baqarah: 187), hingga akhir ayat.

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Al-Aufi, dari Ibnu Abbas.

Musa ibnu Uqbah telah meriwayatkan dari Kuraib, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa sesungguhnya orang-orang itu sebelum diturunkan perintah puasa seperti apa yang telah diturunkan kepada mereka sekarang, mereka masih tetap boleh makan dan minum serta dihalalkan bagi mereka menggauli istri-istrinya. Tetapi apabila seseorang di antara mereka tidur, maka ia tidak boleh makan dan minum serta tidak boleh menyetubuhi istrinya hingga tiba saat berbuka pada keesokan malamnya.

Kemudian sampailah suatu berita kepada kami bahwa Umar ibnul Khattab sesudah dia tidur dan wajib baginya melakukan puasa, maka ia (bangun) dan menyetubuhi istrinya. Kemudian ia datang menghadap Nabi ﷺ dan berkata, Aku mengadu kepada Allah dan juga kepadamu atas apa yang telah aku perbuat. Nabi ﷺ bertanya, Apakah yang telah kamu lakukan? Umar menjawab, Sesungguhnya hawa nafsuku telah menggoda diriku, akhirnya aku menyetubuhi istriku sesudah aku tidur, sedangkan aku berkeinginan untuk puasa.

Maka mereka (para sahabat) menduga bahwa Nabi ﷺ pasti menegurnya dan mengatakan kepadanya, Tidaklah pantas kamu lakukan hal itu. Maka turunlah firman-Nya yang mengatakan: Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian. (Al-Baqarah: 187)

Sa’id ibnu Abu Arubah meriwayatkan dari Qais ibnu Sa’d, dari Ata ibnu Abu Rabah, dari Abu Hurairah sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian sampai dengan firman-Nya kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam. (Al-Baqarah: 187) Bahwa kaum muslim sebelum ayat ini diturunkan, apabila mereka telah shalat Isya, diharamkan atas mereka makan, minum, dan wanita hingga mereka berbuka lagi di malam berikutnya.

Sesungguhnya Umar ibnul Khattab menyetubuhi istrinya sesudah shalat Isya. Sedangkan Sirmah ibnu Qais Al-Ansari tertidur sesudah shalat Magrib; dia belum makan apa pun, dan ia masih belum bangun kecuali setelah Rasulullah ﷺ shalat Isya; maka ia bangun, lalu makan dan minum. Kemudian pada pagi harinya ia datang kepada Rasulullah ﷺ dan menceritakan hal tersebut kepadanya.

Maka Allah Subhaanahu wa Ta’aala menurunkan firman-Nya berkenaan dengan peristiwa itu, yakni: Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian. (Al-Baqarah: 187) Yang dimaksud dengan rafas ialah bersetubuh dengan istri. mereka itu adalah pakaian bagi kalian, dan kalian pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu kalian. (Al-Baqarah: 187) Yakni kalian menyetubuhi istri-istri kalian dan kalian makan serta minum sesudah Isya. karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf kepada kalian. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian. (Al-Baqarah: 187) Maksudnya, campurilah istri-istri kalian dan ikutilah apa yang telah ditetapkan oleh Allah buat kalian, yakni memperoleh anak. dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam. (Al-Baqarah: 187) Maka hal ini merupakan keringanan dan rahmat dari Allah.

Hisyam meriwayatkan dari Husain ibnu Abdur Rahman, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila yang menceritakan bahwa sahabat Umar ibnul Khattab radiyallahu ‘anhu pernah bertanya, Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tadi malam menginginkan istriku sebagaimana layaknya seorang lelaki mengingini istrinya. Tetapi ia menjawab bahwa dirinya telah tidur sebelum itu, hanya aku menduga dia sedang sakit. Akhirnya aku setubuhi dia. Maka berkenaan dengan Umar radiyallahu ‘anhu turunlah ayat berikut, yakni firman-Nya: Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian. (Al-Baqarah: 187)

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Syu’bah, dari Amr ibnu Murrah, dari Ibnu Abu Laila dengan lafaz yang sama.

Abu Ja’far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Suwaid, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, dari Abu Luhai’ah, telah menceritakan kepadaku Musa ibnu Jubair maula Bani Salamah, bahwa ia pernah mendengar Abdullah ibnu Ka’b ibnu Malik menceritakan sebuah hadits kepadanya dari ayahnya, bahwa orang-orang dalam bulan Ramadhan , bila seorang lelaki di antara mereka puasa dan pada petang harinya dia tertidur, maka diharamkan atasnya makan, minum, dan menggauli istri hingga saat berbuka pada besok malamnya. Di suatu malam Umar ibnul Khattab radiyallahu ‘anhu pulang ke rumahnya dari rumah Nabi ﷺ yang saat itu begadang di rumah beliau. Lalu Umar menjumpai istrinya telah tidur, dan ia menginginkannya. Tetapi istrinya menjawab, Aku telah tidur. Maka Umar menjawab, Kamu belum tidur, lalu ia langsung menyetubuhinya. Ka’b ibnu Malik melakukan hal yang sama pula. Pada pagi harinya Umar berangkat ke rumah Nabi ﷺ dan menceritakan hal tersebut kepadanya. Kemudian turunlah firman-Nya: Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu kalian, karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf kepada kalian. Maka sekarang campurilah mereka. (Al-Baqarah: 187), hingga akhir ayat.

Hal yang sama diriwayatkan pula dari Mujahid, Ata, Ikrimah, Qatadah, dan lain-lainnya dalam asbabun nuzul ayat ini. Yaitu berkenaan dengan perbuatan Umar ibnul Khattab dan orang-orang yang melakukan seperti apa yang diperbuatnya, juga berkenaan dengan Sirmah ibnu Qais. Maka diperbolehkanlah bersetubuh, makan, dan minum dalam semua malam Ramadhan  sebagai rahmat dan keringanan serta belas kasihan dari Allah.

Lihat: Al-Quran Juz 2: Merenungkan Kedalaman Surah Al-Baqarah

.

Firman Allah Subhaanahu wa Ta’aala:

Dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian. (Al-Baqarah: 187)

Menurut Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Anas, Syuraih Al-Qadi, Mujahid, Ikrimah, Sa’id ibnu Jubair, Ata, Ar-Rabi’ ibnu Anas, As-Saddi, Zaid ibnu Aslam, Al-Hakam ibnu Utbah, Muqatil ibnu Hayyan, Al-Hasan Al-Basri, Ad-Dahhak, Qatadah, dan lain-lainnya, makna yang dimaksud ialah anak.

Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian. (Al-Baqarah: 187) Makna yang dimaksud ialah jimak (persetubuhan).

Amr ibnu Malik Al-Bakri telah mengatakan dari Abul Jauza, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil ayat ini: dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian. (Al-Baqarah: 187) Makna yang dimaksud ialah lailatul qadar (malam yang penuh dengan kemuliaan). Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir.

Abdur Razzaq mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ma’mar, bahwa Qatadah pernah mengatakan, Ikutilah oleh kalian keringanan yang telah ditetapkan oleh Allah buat kalian ini! Yakni atas dasar bacaan ma ahallallahu lakum (bukan ma kataballahu lakum), artinya ‘apa yang telah dihalalkan oleh Allah buat kalian’.

Abdur Razzaq telah mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ibnu Uyaynah, dari Amr ibnu Dinar, dari Ata ibnu Abu Rabah yang pernah bercerita bahwa ia pernah berkata kepada Ibnu Abbas mengenai bacaan ayat ini, yakni firman-Nya: dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian. (Al-Baqarah: 187) Maka Ibnu Abbas menjawab, Mana saja yang kamu sukai boleh, tetapi pilihlah olehmu bacaan yang pertama, (yakni kataba, bukan ahal-la). Akan tetapi, Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa makna ayat lebih umum daripada hal tersebut.

Hanya Allah Yang Maha mengetahui dan segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.

 

Halaman:        4        7 

 

Artikel SebelumnyaAyat 187 Al-Baqarah, Waktu Sahur dan Batas Akhirnya
Artikel SelanjutnyaSurah Al-Baqarah Ayat 187, Latin, Arti, dan Tafsir Pilihan