Ayat 187 dari Surah Al-Baqarah, Waktu yang Membatasi Aktifitas

Kajian Tafsir: Surah Al-Baqarah ayat 187

0
50

Ayat 187 dari Surah Al-Baqarah, menurut Tafsir Ibnu Katsir, menguraikan aturan-aturan yang ditetapkan Allah terkait waktu-waktu yang membatasi aktifitas seperti berhubungan suami istri, makan, dan minum bagi orang yang hendak menjalankan ibadah puasa.

Dalam tafsir ini, Ibnu Katsir menyoroti pentingnya fajar sebagai batas waktu terakhir sebelum memulai ibadah puasa. Menurutnya, Allah menetapkan fajar sebagai waktu terakhir bagi mereka yang ingin bersetubuh, makan, dan minum sebelum memulai puasa.

Ibnu Katsir juga menguraikan ayat 187 dari Surah Al-Baqarah ini.

Termasuk di antara hukum yang ditetapkan oleh Allah ialah fajar dijadikan-Nya sebagai akhir batas waktu boleh bersetubuh, makan, dan minum bagi orang yang hendak puasa. Dari hal ini tersimpul bahwa barang siapa yang berpagi hari dalam keadaan junub, hendaklah ia mandi dan melanjutkan puasanya tanpa ada dosa atasnya. Demikianlah menurut mazhab empat orang imam dan jumhur ulama Salaf dan Khalaf, karena berdasarkan apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim melalui hadits Aisyah dan Ummu Salamah radiyallahu ‘anh yang keduanya menceritakan:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ غَيْرِ احْتِلَامٍ ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ

Rasulullah pernah berpagi hari dalam keadaan junub karena habis jima’ (bersetubuh) tanpa mengeluarkan air mani, kemudian beliau mandi dan puasa.

Di dalam hadits Ummu Salamah radiyallahu ‘anhu yang ada pada Imam Bukhari dan Imam Muslim disebutkan:

ثُمَّ لَا يُفْطِرُ وَلَا يَقْضِي

Dan beliau ﷺ tidak berbuka, tidak pula mengqadainya.

Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Siti Aisyah radiyallahu ‘anha yang menceritakan hadits berikut:

أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، تُدْركني الصَّلَاةُ وَأَنَا جُنُبٌ، فَأَصُومُ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَأَنَا تُدْرِكُنِي الصَّلَاةُ وَأَنَا جُنُبٌ، فَأَصُومُ. فَقَالَ: لَسْتَ مِثْلَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ -قَدْ غفرَ اللهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ. فَقَالَ: وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرْجُو أَنْ أكونَ أَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَعْلَمُكُمْ بِمَا أَتَّقِي

Bahwa ada seorang lelaki bertanya, Wahai Rasulullah, aku berada di waktu shalat (Subuh) sedang diriku dalam keadaan junub. Bolehkah aku puasa? Rasulullah ﷺ menjawab, Aku pun pernah berada dalam waktu shalat (Subuh), sedangkan aku dalam keadaan junub, tetapi aku tetap puasa. Lelaki itu berkata, Tetapi engkau tidaklah seperti kami, wahai Rasulullah. Sesungguhnya Allah telah memberikan ampunan bagimu atas semua dosamu yang terdahulu dan yang kemudian. Maka Rasulullah ﷺ bersabda, Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar berharap ingin menjadi orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian dan orang yang paling alim mengenai cara bertakwa.

Simak: Surah Al-Baqarah Ayat 286: Merenungi Makna Doa Orang Mukmin

.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad disebutkan:

حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، عَنْ مَعْمَر، عَنْ هَمَّامٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ -صَلَاةِ الصُّبْحِ -وَأَحَدُكُمْ جُنُبٌ فَلَا يَصُمْ يَوْمَئِذٍ

Telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, dari Ma’mar, dari Hammam, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah ﷺ yang telah bersabda: Apabila diserukan untuk shalat, yakni shalat Subuh, sedangkan seseorang dari kalian dalam keadaan junub, maka janganlah dia melakukan puasa di hari itu.

Hadits ini ditinjau dari segi sanadnya berpredikat jayyid, tetapi dengan syarat Syaikhain, seperti yang Anda ketahui.

Hadits ini menurut apa yang ada di dalam kitab Sahihain dari Abu Hurairah, dari Al-Fadl ibnu Abbas, dari Nabi ﷺ Di dalam kitab Sunan Nasai, dari Abu Hurairah, dari Usamah ibnu Zaid dan Al-Fadl ibnu Abbas, tetapi Imam Nasai tidak me-rafa’-kannya (tidak menghubungkannya kepada Nabi ﷺ). Karena itu, ada sebagian ulama yang menilai daif’ hadits ini karena faktor tersebut (tidak marfu’). dan di antara mereka ada yang berpegang kepada hadits ini.

Pendapat yang mengatakan demikian ada yang meriwayatkannya dari Abu Hurairah, Salim, Ata, Hisyam ibnu Urwah, dan Al-Hasan Al-Basri.

Di antara mereka ada orang yang berpendapat membedakan antara orang yang berpagi hari dalam keadaan junub karena tertidur, maka tidak ada apa pun atas dirinya, berdasarkan kepada hadits Siti Aisyah dan Ummu Salamah. Tetapi jika dia dalam keadaan mukhtar (bebas memilih), maka tidak ada puasa atas dirinya, berdasarkan hadits Abu Hurairah; hal ini diriwayatkan pula dari Urwah, Tawus, dan Al-Hasan.

Di antara mereka ada orang yang membedakan antara puasa fardu dan puasa sunat. Kalau puasanya adalah puasa fardu, maka dia harus melanjutkan puasanya, tetapi harus mengqadainya. Kalau puasanya sunat, maka jinabah tidak membahayakannya. Pendapat ini diriwayatkan oleh As-Sauri, dari Mansur, dari Ibrahim An-Nakha’i, juga merupakan suatu riwayat dari Al-Hasan Al-Basri.

Di antara mereka ada yang menduga bahwa hadits Abu Hurairah di-nasakh oleh hadits Siti Aisyah dan Ummu Salamah, tetapi pendapat ini tidak mempunyai alasan mana yang lebih dahulu di antara keduanya.

Ibnu Hazm menduga bahwa hadits Abu Hurairah dimansukh oleh ayat ini, tetapi pendapat ini pun jauh dari kebenaran karena pembuktian tarikh (penanggalannya) tidak ada, bahkan pembuktian tarikh memberikan pengertian kebalikannya.

Di antara mereka ada yang menginterpretasikan hadits Abu Hurairah dengan pengertian bertentangan dengan kesempurnaan puasa. Karena itu, tidak ada pahala puasa bagi pelakunya, berdasarkan hadits Siti Aisyah dan Ummu Salamah yang menunjukkan pengertian boleh. Pendapat terakhir inilah yang lebih mendekati kebenaran dan lebih mencakup keseluruhannya.

Hanya Allah Yang Maha mengetahui dan segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.

Halaman:         4    5      7

 

Artikel SebelumnyaAl-Baqarah Ayat 187, Mematuhi Waktu Menjalankan Puasa
Artikel SelanjutnyaAyat 187 Al-Baqarah, Terkait Ibadah Sahur