Beberapa Ketentuan Tentang Talak dan ‘Iddah

Tafsir Al-Qur’an: Surah At-Thalaq

0
1024

Kajian Tafsir: Surah At-Thalaq (Talak). Surah ke-65. 12 ayat. Turun sesudah Surat Al-Insan. Ayat 1-3, Beberapa ketentuan tentang talak dan ‘iddah.

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

  يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلا يَخْرُجْنَ إِلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا (١)

Wahai Nabi! Apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumahnya dan janganlah diizinkan keluar kecuali jika mereka mengerjakan perbuatan keji yang jelas. Itulah hukum-hukum Allah, dan barang siapa melanggar hukum-hukum Allah, maka sungguh dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali setelah itu Allah mengadakan suatu ketentuan yang baru. (Q.S. At-Thalaq : 1)

.

Tafsir Ibnu Abbas

Yā ayyuhan nabiyyu (wahai Nabi) dan umatnya!

Idzā thallaqtumun nisā-a (apabila kalian menceraikan istri-istri kalian). Yakni katakanlah kepada kaummu, Apabila kalian bermaksud menceraikan istri.

Fa thalliqūhunna li ‘iddatihinna (maka hendaklah kalian menceraikan mereka untuk idahnya), yakni ketika mereka suci dan tidak melakukan persetubuhan (sebelumnya).

Wa ahshul ‘iddata (serta hitunglah idah itu), yakni dan jagalah kesucian mereka dengan tiga kali haid, dan bersucilah darinya dengan berakhirnya masa idah.

Wattaqullāha (dan bertakwalah kepada Allah), yakni hendaklah kalian takut kepada Allah. Rabbakum (Rabb kalian). Dan janganlah kalian menceraikan mereka dalam keadaan tidak suci dan tidak selaras dengan Sunnah.

Lā tukhrijūhunna mim buyūtihinna (janganlah kalian mengeluarkan mereka dari rumahnya) yang di rumah itu mereka dijatuhi talak, sehingga habis masa idahnya.

Wa lā yakhrujna (dan jangan pula mereka [diizinkan] keluar) sebelum habis masa idahnya.

Illā ay ya’tīna bi fāhisyatim mubayyinah (kecuali jika mereka jelas-jelas melakukan perbuatan keji), yakni kecuali jika mereka jelas-jelas melakukan kemaksiatan, yaitu mereka keluar (rumah) dalam masa idah tanpa izin suaminya. Jadi, mengeluarkan mereka pada masa idah merupakan sebuah kemaksiatan, dan keluarnya mereka pada masa idah juga merupakan kemaksiatan. Menurut pendapat yang lain,

illā ay ya’tīna bi fāhisyatim mubayyinah (kecuali kalau mereka jelas-jelas melakukan perbuatan keji), yakni melakukan perbuatan zina yang dibuktikan oleh empat orang saksi. Dalam kasus tersebut ia mesti dikeluarkan (dari rumah) kemudian dirajam.

Wa tilka hudūdullāh (dan itulah Had-had Allah), yakni inilah hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan Allah tentang perempuan dalam masalah talak, nafkah, dan tempat tinggal.

Wa may yata‘adda hudūdallāhi (dan barangsiapa melanggar had-had Allah), yakni melampuai batas Hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan Allah berkenaan dengan urusan nafkah dan tempat tinggal yang telah Diperintahkan-Nya.

Fa qad zhalama nafsahū (maka ia sungguh-sungguh telah menzalimi diri sendiri), yakni telah mencelakai diri sendiri.

Lā tadrī (kamu tidak akan tahu), yakni si suami tidak akan tahu.

La‘allallāha yuhditsu ba‘da dzālika (barangkali Allah hendak mengadakan sesudah itu), yakni sesudah talak pertama dan sebelum habisnya masa idah.

Amrā (sesuatu yang baru), yaitu perasaan cinta dan keinginan untuk rujuk.


Di sini Link untuk Tafsir Al-Qur’an Juz Ke-28


Tafsir Hidayatul Insan bi tafsiril Qur’an

Wahai Nabi![1] Apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka[2] hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)[3] dan hitunglah waktu iddah itu[4] serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu[5]. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumahnya[6] dan janganlah diizinkan keluar[7] kecuali jika mereka mengerjakan perbuatan keji yang jelas[8]. Itulah hukum-hukum Allah[9], dan barang siapa melanggar hukum-hukum Allah, maka sungguh dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri[10]. Kamu tidak mengetahui barangkali setelah itu Allah mengadakan suatu ketentuan yang baru[11].

[1] Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman kepada Nabi dan kaum mukmin.

[2] Janganlah segera mentalak ketika ada sebabnya tanpa memperhatikan perintah Allah sebagaimana diterangkan dalam lanjutan ayat ini.

[3] Maksudnya, istri-istri itu hendaklah ditalak diwaktu suci sebelum dicampuri. Jika ditalak dalam keadaan haidh, maka ia tidak menghitung dengan haidh yang dijatuhkan talak ketika itu dan masa ‘iddahnya semakin lama karenanya, demikian pula jika mentalaknya dalam keadaan suci yang telah dijima’i, maka tidak aman terhadap kehamilannya sehingga tidak jelas dengan iddah yang mana yang harus ia jalani.

[4] Yakni hitunglah dengan haidh jika wanita itu haidh atau dengan bulan jika ia tidak haidh dan tidak hamil, yang di antara manfaatnya adalah agar kamu dapat merujuknya sebelum habisnya. Menghitungnya terdapat pemenuhan terhadap hak Allah, hak suami yang menalak, hak orang yang akan menikahinya setelahnya dan hak wanita dalam hal nafkah dsb. Jika ‘iddahnya telah dihitung, maka keadaannya dapat diketahui, kewajiban yang wajib dipenuhinya serta haknya juga diketahui. Perintah menghitung masa ‘iddah ini tertuju kepada suami dan kepada istrinya jika istrinya mukallaf (sudah baligh dan berakal), jika belum maka tertuju kepada walinya.

[5] Yakni taatilah perintah-Nya dan jauhilah larangan-Nya dalam semua urusan serta takutlah kepada-Nya dalam hal hak istri yang ditalak.

[6] Selama masa ‘iddah, bahkan mereka (kaum wanita) harus tetap di rumah suaminya yang mentalaknya.

[7] Yakni mereka tidak boleh keluar dari rumah itu. Larangan mengeluarkannya adalah karena tempat tinggal wajib ditanggung suami untuk istrinya agar ia menyempurnakan ‘iddahnya di rumah itu yang menjadi salah satu haknya. Di samping itu, keluarnya istri dapat menyia-nyiakan hak suami dan tidak menjaganya. Larangan mengeluarkan istri dari rumah ini berlangsung terus sampai sempurna ‘iddahnya.

[8] Yang dimaksud dengan perbuatan keji di sini ialah mengerjakan perbuatan-perbuatan pidana seperti zina sehingga ia keluar untuk ditegakkan had terhadapnya, atau berkelakuan tidak sopan terhadap mertua, ipar, dan sebagainya yang layak untuk dikeluarkan seperti menyakiti dengan kata-kata dan perbuatan. Termasuk pula apabila seorang wanita bersikap nusyuz (durhaka) kepada suaminya. Dalam kondisi seperti ini, mereka boleh dikeluarkan karena ia yang menyebabkan dirinya berhak dikeluarkan. Memberikan tempat tinggal ini apabila talaknya talak raj’i (masih bisa rujuk), adapun dalam talak ba’in, maka istri tidak berhak mendapatkan tempat tinggal, karena tempat tinggal mengikuti nafkah, sedangkan nafkah wajib diberikan kepada wanita yang ditalak raj’i, bukan dilatak ba’in.

[9] Yang telah ditetapkan dan disyariatkan-Nya kepada hamba-hamba-Nya serta diperintahkan-Nya mereka untuk tetap memperhatikannya.

[10] Dengan menyia-nyiakannya keberuntungan yang diperolehnya jika mengikuti hukum-hukum Allah, yaitu kebaikan di dunia dan akhirat.

[11] Suatu hal yang baru maksudnya keinginan dari suami untuk rujuk kembali apabila talaknya baru dijatuhkan sekali atau dua kali. Ini adalah salah sau hikmah disyariatkannya ‘iddah. Hikmah lainnya adalah bahwa masa ‘iddah adalah masa menunggu untuk diketahui kosong rahimnya.

.

Tafsir jalalain

  1. (Hai Nabi!) makna yang dimaksud ialah umatnya, pengertian ini disimpulkan dari ayat selanjutnya. Atau makna yang dimaksud ialah, katakanlah kepada mereka (apabila kalian menceraikan istri-istri kalian) apabila kalian hendak menjatuhkan talak kepada mereka (maka hendaklah kalian ceraikan mereka pada waktu mereka menghadapi idahnya) yaitu pada permulaan idah, seumpamanya kamu menjatuhkan talak kepadanya sewaktu ia dalam keadaan suci dan kamu belum menggaulinya.

Pengertian ini berdasarkan penafsiran dari Rasulullah ﷺ sendiri menyangkut masalah ini; demikianlah menurut hadis yang telah diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim (dan hitunglah waktu idahnya) artinya jagalah waktu idahnya supaya kalian dapat merujukinya sebelum waktu idah itu habis (serta bertakwalah kepada Allah Rabb kalian) taatlah kalian kepada perintah-Nya dan larangan-Nya. (Janganlah kalian keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka diizinkan keluar) dari rumahnya sebelum idahnya habis (kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji) yakni zina (yang terang) dapat dibaca mubayyinah, artinya terang, juga dapat dibaca mubayyanah, artinya dapat dibuktikan. Maka bila ia melakukan hal tersebut dengan dapat dibuktikan atau ia melakukannya secara jelas, maka ia harus dikeluarkan untuk menjalani hukuman hudud. (Itulah) yakni hal-hal yang telah disebutkan itu (hukum-hukum Allah dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu) sesudah perceraian itu (sesuatu hal yang baru) yaitu rujuk kembali dengan istri yang telah dicerainya, jika talak yang dijatuhkannya itu baru sekali atau dua kali.

.

Tafsir Ibnu Katsir

Nabi ﷺ diprioritaskan mendapat khitab (perintah) dari ayat ini sebagai penghormatan dan kemuliaan baginya, kemudian menyusul buat umatnya sesudahnya. Untuk itu Allah Swt. berfirman:

Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar). (Ath-Thalaq: l)

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sawab ibnu Sa’id Al-Hubari, telah menceritakan kepada kami Asbat ibnu Muhammad, dari Sa’id, dari Qatadah, dari Anas yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah menceraikan Siti Hafsah, lalu Hafsah pulang ke rumah keluarganya. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar). (Ath-Thalaq: l) Maka dikatakan kepada Nabi ﷺ, “Rujukilah dia, karena sesungguhnya dia (Hafsah) adalah seorang wanita yang banyak berpuasa dan banyak shalatnya, dan dia termasuk salah seorang dari istri-istrimu di surga nanti.”

Ibnu Jarir meriwayatkan hadis ini melalui Ibnu Basysyar, dari Abdul A’la, dari Sa’id, dari Qatadah, lalu ia sebutkan hal yang semisal secara mursal.

Telah diriwayatkan pula melalui berbagai jalur, bahwa Rasulullah ﷺ pernah menceraikan Siti Hafsah, kemudian beliau ﷺ merujuknya kembali.

قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْر، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ وَعُقَيْلٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، أَخْبَرَنِي سَالِمٌ: أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ أَخْبَرَهُ: أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَةً لَهُ وَهِيَ حَائِضٌ، فَذَكَرَ عمرُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَتَغَيَّظَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ: لِيُرَاجِعْهَا، ثُمَّ يُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ، ثُمَّ تَحِيضَ فَتَطْهُرَ، فَإِنْ بَدَا لَهُ أَنْ يُطَلِّقَهَا فَلْيُطَلِّقْهَا طَاهِرًا قَبْلَ أَنْ يَمَسَّهَا، فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ، عَزَّ وَجَلَّ

Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Al-Lais, telah menceritakan kepadaku Aqil, dari Ibnu Syihab, telah menceritakan kepadaku Salim bahwa Abdullah ibnu Umar pernah menceritakan kepadanya bahwa dirinya pernah menceraikan salah seorang istrinya yang sedang dalam haid. Kemudian Umar r.a. (ayahnya) menceritakan hal tersebut kepada Rasulullah . Maka Rasulullah marah dan bersabda: Dia harus merujuknya, kemudian memegangnya hingga suci dari haidnya, lalu berhaid lagi dan bersuci, maka (sesudah itu) bila dia ingin menceraikannya, ia boleh menceraikannya dalam keadaan suci, sebelum dia menggaulinya. Itulah idah yang diperintahkan oleh Allah Swt. (untuk dijalani).

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam tafsir ayat ini. Dia telah meriwayatkannya pula di berbagai tempat (bagian) lain dari kitab sahihnya. Sedangkan Imam Muslim telah meriwayatkannya dengan teks yang berbunyi seperti berikut:

فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ أَنْ يُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ

Itulah idah yang diperintahkan oleh Allah untuk dijalani bila menceraikan wanita.

Para pemilik kitab hadis dan kitab musnad telah meriwayatkan hadis ini melalui berbagai jalur dan dengan lafaz yang beraneka ragam lagi banyak, yang rinciannya dapat dijumpai di dalam kitab-kitab fiqih yang membahas masalah-masalah hukum. Akan tetapi, lafaz yang paling diperlukan dan paling penting untuk diketengahkan di sini adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya melalui Ibnu Juraij. Ia mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abuz Zubair, bahwa ia pernah mendengar Abdur Rahman ibnu Aiman maula Izzah bertanya kepada Ibnu Umar, sedangkan Abuz Zubair mendengarnya, “Bagaimanakah pendapatmu tentang seorang lelaki yang menceraikan istrinya dalam keadaan haid?” Maka Ibnu Umar menjawab bahwa dirinya pernah menceraikan istrinya yang sedang haid di masa Rasulullah ﷺ. Maka Rasulullah ﷺ bersabda:

لِيُرَاجِعْهَا” فَردَّها، وَقَالَ: “إِذَا طَهُرَتْ فَلْيُطَلِّقْ أَوْ يُمْسِكْ”. قَالَ ابْنُ عُمَرَ: وَقَرَأَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ

Dia harus merujuknya. Maka Ibnu Umar merujuknya. Dan Nabi bersabda: Jika istrinya telah bersuci, dia boleh menceraikannya atau tetap memegangnya (sebagai istri). Ibnu Umar melanjutkan, bahwa Nabi membaca firman-Nya: Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar). (Ath-Thalaq: 1)

Al-A’masy telah meriwayatkan dari Malik ibnul Haris, dari Abdur Rahman ibnu Zaid, dari Abdullah sehubungan dengan makna firman-Nya: maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar). (Ath-Thalaq: 1) Makna yang dimaksud ialah dalam keadaan suci tanpa disetubuhi.

Telah diriwayatkan pula hal yang semisal dari Ibnu Umar, Ata, Mujahid, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Qatadah, Maimun ibnu Mahran, dan Muqatil ibnu Hayyan. Ini merupakan riwayat yang bersumber dari Ikrimah dan Ad-Dahhak.

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan sehubungan dengan makna firman-Nya: maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar). (Ath-Thalaq: 1) Bahwa seseorang tidak boleh menceraikan istrinya yang dalam keadaan haid; tidak boleh pula dalam keadaan suci, sedangkan dia telah menyetubuhinya. Tetapi hendaknya dia membiarkannya hingga berhaid lagi, lalu bersuci, kemudian ia baru boleh menjatuhkan talaknya sekali.

Ikrimah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar). (Ath-Thalaq: 1) Bahwa yang dimaksud dengan idah ialah saat suci dan saat haid. Seseorang diperbolehkan menceraikan istrinya dalam keadaan hamil lagi positif kehamilannya. Dan ia tidak boleh menceraikannya, sedangkan ia telah menyetubuhinya dan tidak diketahui apakah istrinya dalam keadaan hamil atau tidak.

Berangkat dari pengertian ini, para ulama fiqih menyusun hukum-hukum talak dan mereka membaginya menjadi talak sunnah dan talak bid’ah. Yang dimaksud dengan talak sunnah ialah bila seseorang menceraikan istrinya dalam keadaan suci tanpa menyetubuhinya atau dalam keadaan hamil yang telah jelas kehamilannya. Dan talak bid’ah ialah bila seseorang menceraikan istrinya dalam keadaan berhaid atau dalam keadaan suci, sedangkan dia telah menyetubuhinya di masa sucinya itu, dan tidak diketahui apakah istrinya telah hamil atau tidak. Talak yang ketiga ialah talak yang bukan sunnah dan bukan pula bid’ah, yaitu talak yang dijatuhkan terhadap istri yang masih belum balig, wanita yang tidak berhaid, dan wanita (istri) yang belum disetubuhi. Penjelasan mengenai hal ini secara rinci berikut semua cabang yang berkaitan dengannya di sebutkan di dalam kitab-kitab fiqih; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

Firman Allah Swt:

dan hitunglah waktu idah itu. (Ath-Thalaq: 1)

Yakni peliharalah dan ketahuilah permulaan dan batas berakhirnya, agar masa idah tidak memanjang bagi si istri, yang berakibat terhalang dari melakukan perkawinan.

serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. (Ath-Thalaq: 1)

Yaitu dalam hal tersebut.

Firman Allah Swt.:

Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar. (Ath-Thalaq: 1)

Artinya, dalam masa idahnya ia berhak mendapatkan tempat tinggal yang dibebankan kepada pihak suami selama istrinya masih menjalani idah darinya, si suami tidak boleh mengusirnya dari tempat tinggalnya, dan si istri tidak boleh pula keluar darinya, karena terikat dengan hak suaminya juga.

Firman Allah Swt.:

kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. (Ath-Thalaq: 1)

Yakni mereka tidak boleh diizinkan keluar dari rumah tempat tinggal mereka terkecuali jika wanita yang bersangkutan melakukan perbuatan keji yang terang (yakni terbukti perbuatan kejinya). Maka dia baru boleh diusir dari tempat tinggalnya. Yang dimaksud dengan perbuatan fahisyah ialah mencakup perbuatan zina. Ini menurut pendapat yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Sa’id ibnul Musayyab, Asy-Sya’bi, Al-Hasan, ibnu Sirin, Mujahid, Ikrimah, Sa’id ibnu Jubair, Abu Qilabah, Abu Saleh, Ad-Dahhak, Zaid ibnu Aslam, Ata Al-Khurrasani, As-Sadi, Sa’id ibnu Abu Hilal, dan lain-lainnya. Juga mencakup bilamana wanita yang bersangkutan bersikap membangkang atau bersikap menghina keluarga suami dan menyakiti mereka dengan lisannya dan juga dengan perbuatannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Ubay ibnu Ka’b, Ibnu Abbas, Ikrimah, dan ulama Salaf lainnya.

Firman Allah Swt.:

Itulah hukum-hukum Allah. (Ath-Thalaq: 1)

Yakni hukum-hukum syariat:Nya dan batasan-batasan haram-Nya.

dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah. (Ath-Thalaq: 1)

Maksudnya, keluar dan menyimpang darinya ke jalan lain dan tidak mau mengikutinya.

maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. (Ath-Thalaq: 1)

dengan perbuatannya itu.

Firman Allah Swt.:

Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru. (Ath-Thalaq: 1)

Yaitu sesungguhnya Kami biarkan wanita yang diceraikan tetap berada di tempat tinggal suaminya dalam masa idahnya, karena barangkali si suami menyesali talak yang telah dijatuhkannya, dan Allah menggerakkan hati suami untuk merujuknya. Bila demikian, maka urusannya mudah dan gampang.

Az-Zuhri telah meriwayatkan dari Ubaidillah ibnu Abdullah, dari Fatimah binti Qais sehubungan dengan makna firman-Nya: Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru. (Ath-Thalaq: 1) Yakni keinginan untuk rujuk.

Hal yang semisal telah dikatakan oleh Asy-Sya’bi, Ata, Qatadah, Ad-Dahhak, Muqatil ibnu Hayyan, dan As-Sauri.

Berangkat dari pengertian ini ada sejumlah ulama Salaf dan para pendukungnya seperti Imam Ahmad rahimahullah mengatakan bahwa tidak wajib memberikan tempat tinggal bagi wanita yang diceraikan habis-habisan (telah habis talaknya), demikian pula bagi istri yang ditinggal mati oleh suaminya.

Mereka yang berpendapat demikian berpedoman pula kepada hadis Fatimah binti Qais Al-Fihriyyah ketika diceraikan oleh suaminya (yaitu Abu Amr ibnu Hafs) pada talak yang terakhir, yaitu talak yang ketiga. Saat itu Abu Amr tidak ada di tempat, yaitu berada di negeri Yaman; ia mengirimkan kurirnya untuk menyampaikan talaknya itu, juga bersamaan dengan itu ia mengirimkan kepada kurirnya sejumlah gandum sebagai nafkah untuk istri yang diceraikannya. Maka istrinya marah karena hanya gandum yang dikirimkan kepadanya. Lalu Abu Amr mengatakan, “Demi Allah, tiada kewajiban atas kami memberi nafkah kepadamu.” Fatimah binti Qais datang menghadap kepada Rasulullah ﷺ mengadukan masalahnya, maka Rasulullah ﷺ bersabda:

لَيْسَ لَكِ عَلَيْهِ نَفَقَةٌ

Engkau tidak punya hak nafkah darinya.

Menurut lafaz hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan pula:

وَلَا سُكْنَى

dan (tidak pula) tempat tinggal.

Pada mulanya Rasulullah ﷺ memerintahkannya untuk menjalani idahnya di rumah Ummu Syarik, kemudian beliau ﷺ mencabut perintahnya dan bersabda:

تِلْكَ امْرَأَةٌ يَغْشَاهَا أَصْحَابِي، اعْتَدِّي عِنْدَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ، فَإِنَّهُ رَجُلٌ أَعْمَى تَضَعِينَ ثِيَابَكِ

Ummu Syarik adalah seorang wanita yang sering didatangi oleh sahabat-sahabatku, tunaikanlah masa idahmu di rumah Ibnu Ummi Maktum, karena sesungguhnya dia adalah seorang lelaki yang tuna netra, engkau dapat menanggalkan pakaian (jilbab)mu. dan seterusnya.

Imam Ahmad telah meriwayatkan hadis ini melalui jalur lain dengan lafaz yang lain; untuk itu ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa’id, telah menceritakan kepada kami Mujalid, telah menceritakan kepada kami Amir yang mengatakan bahwa aku tiba di Madinah, lalu aku mengunjungi Fatimah binti Qais. Maka dia menceritakan kepadaku bahwa suaminya telah menceraikannya di masa Rasulullah ﷺ dan beliau ﷺ mengirimkan suaminya bersama suatu pasukan khusus. Fatimah binti Qais melanjutkan kisahnya, bahwa lalu saudara lelaki suaminya berkata kepadaku, “Keluarlah kamu dari rumah (saudaraku) ini.” Maka aku menjawab, “Sesungguhnya aku berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal hingga masa idahku habis.” Saudara suamiku berkata, “Tidak.” Fatimah binti Qais melanjutkan kisahnya, bahwa lalu aku menghadap Rasulullah ﷺ dan kukatakan kepadanya, “Sesungguhnya si Fulan telah menceraikanku, dan saudara lelakinya mengusirku dari rumah suamiku, dia tidak memberiku tempat tinggal dan nafkah.” Maka Rasulullah ﷺ menanyai saudara suaminya, “Mengapa kamu dan anak perempuan keluarga Qais ini?” Ia menjawab, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saudaraku telah menceraikannya tiga kali seluruhnya.” Fatimah binti Qais melanjutkan, bahwa lalu Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya:

انْظُرِي يَا بِنْتَ آلِ قَيْسٍ، إِنَّمَا النَّفَقَةُ وَالسُّكْنَى لِلْمَرْأَةِ عَلَى زَوْجِهَا مَا كَانَ لَهُ عَلَيْهَا رَجْعَةٌ، فَإِذَا لَمْ يَكُنْ لَهُ عَلَيْهَا رَجْعَةٌ فَلَا نَفَقَةَ وَلَا سُكْنَى. اخْرُجِي فَانْزِلِي عَلَى فُلَانَةٍ”. ثُمَّ قَالَ: إِنَّهُ يُتحَدّث إِلَيْهَا، انْزِلِي عَلَى ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ، فَإِنَّهُ أَعْمَى لَا يَرَاكِ

Perhatikanlah, hai anak perempuan keluarga Qais, sesungguhnya nafkah dan tempat tinggal bagi istri dibebankan pada suaminya selama si suami masih punya hak untuk merujuknya. Dan apabila si suami tidak punya hak lagi untuk merujuknya, maka tiada nafkah dan tiada tempat tinggal lagi. Sekarang keluarlah engkau dan tinggallah di rumah si Fulanah. Kemudian Rasulullah bersabda lagi kepadanya: Tinggallah kamu di rumah Ibnu Ummi Maktum, karena sesungguhnya dia adalah seorang yang tuna netra dan tidak dapat melihatmu. hingga akhir hadis.

Abul Qasim At-Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdullah Al-Bazzar At-Tusturi, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim As-Sawwaf, telah menceritakan kepada kami Bakr ibnu Bakkar, telah menceritakan kepada kami Sa’id ibnu Yazid Al-Bajali, telah menceritakan kepada kami Amir Asy-Sya’bi, bahwa ia masuk menemui Fatimah binti Qais saudara perempuan Ad-Dahhak ibnu Qais Al-Qurasyi, suaminya bernama Abu Amr ibnu Hafs ibnul Mugirah Al-Makhzumi. Maka Fatimah binti Qais menceritakan bahwa sesungguhnya Abu Amr ibnu Hafs mengirimkan kurirnya kepadaku untuk menyampaikan talaknya terhadapku, sedangkan ia berada dalam rombongan pasukan yang diberangkatkan ke negeri Yaman. Maka aku menuntut nafkah dari walinya dan juga tempat tinggal, tetapi mereka (orang-orang yang menjadi walinya) mengatakan, “Dia tidak mengirimkan sesuatu pun kepada kami hal tersebut dan tidak pula memesankannya kepada kami.” Maka aku menemui Rasulullah ﷺ dan kukatakan kepadanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Amr ibnu Hafs telah mengirimkan kurirnya kepadaku untuk menceraikanku. Lalu aku meminta kepada para walinya agar aku diberi tempat tinggal dan nafkah. Tetapi mereka mengatakan, ‘Dia tidak mengirimkan apa pun kepada kami mengenai hal tersebut’.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّمَا النَّفَقَةُ وَالسُّكْنَى لِلْمَرْأَةِ إِذَا كَانَ لِزَوْجِهَا عَلَيْهَا رَجْعَةٌ، فَإِذَا كَانَتْ لَا تَحِلُّ لَهُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَلَا نَفَقَةَ لَهَا وَلَا سُكْنَى

Sesungguhnya tempat tinggal dan nafkah itu hanyalah bagi wanita yang suaminya masih mempunyai hak untuk merujuknya. Dan jika wanita tidak halal lagi bagi suaminya sebelum kawin dengan lelaki lain, maka tiada nafkah baginya dan juga tiada tempat tinggal.

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Nasai, dari Ahmad ibnu Yahya As-Sufi, dari Abu Na’im Al-Fadl ibnu Dakin, dari Sa’id ibnu Yazid Al-Ahmasi Al-Bajali Al-Kufi. Abu Hatim Ar-Razi mengatakan bahwa dia adalah seorang syekh (guru) yang sering diambil riwayat hadisnya.

Hanya Allah Yang Maha mengetahui dan segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.

 

Artikel SebelumnyaMengembalikan ke Dalam Ikatan Pernikahan
Artikel SelanjutnyaPerintah Berinfak di Jalan Allah

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini