Beberapa Cobaan yang Berat

Tafsir Al-Qur’an: Surah Thaahaa ayat 40

0
635

Kajian Tafsir Surah Thaahaa ayat 40. (Sebelumnya….) Allah telah mencoba Nabi Musa ‘alaihis salam dengan beberapa cobaan yang berat. Firman-Nya:

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

إِذْ تَمْشِي أُخْتُكَ فَتَقُولُ هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى مَنْ يَكْفُلُهُ فَرَجَعْنَاكَ إِلَى أُمِّكَ كَيْ تَقَرَّ عَيْنُهَا وَلا تَحْزَنَ وَقَتَلْتَ نَفْسًا فَنَجَّيْنَاكَ مِنَ الْغَمِّ وَفَتَنَّاكَ فُتُونًا فَلَبِثْتَ سِنِينَ فِي أَهْلِ مَدْيَنَ ثُمَّ جِئْتَ عَلَى قَدَرٍ يَا مُوسَى (٤٠)

(Yaitu) ketika saudara perempuanmu berjalan, lalu dia berkata (kepada keluarga Fir’aun, “Bolehkah saya menunjukkan kepadamu orang yang akan memeliharanya?” Maka Kami mengembalikanmu kepada ibumu, agar senang hatinya dan tidak bersedih hati. Dan engkau pernah membunuh seseorang, lalu Kami selamatkan engkau dari kesulitan yang besar dan Kami telah mencobamu dengan beberapa cobaan (yang berat); lalu engkau tinggal beberapa tahun di antara penduduk Madyan, kemudian engkau, wahai Musa, datang menurut waktu yang ditetapkan. (Q.S. Thaahaa : 40)

.

Tafsir Ibnu Abbas

Wa fatannāka futūnā (dan Kami telah mengujimu dengan beberapa cobaan), yakni Kami telah mengujimu dengan cobaan yang berturut-turut.

Fa labitsta (kemudian kamu tinggal), yakni bermukim.

Sinīna (beberapa tahun), yakni sepuluh tahun.

Fī ahli madyana tsumma ji’ta ‘alā qadarin (dengan penduduk Madyan, kemudian kamu datang sesuai dengan ketentuan), yakni menurut Ketentuan-Ku untuk menyampaikan kalimah dan risalah kepada Fir‘aun.

Yā mūsā (hai Musa).


BACA JUGA Kajian Tafsir Al-Qur’an Juz Ke-16 untuk ayat lainnya

Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur’an

dan Kami telah mencobamu dengan beberapa cobaan (yang berat)[5]; lalu engkau tinggal beberapa tahun di antara penduduk Madyan[6], kemudian engkau, wahai Musa, datang menurut waktu yang ditetapkan[7],

[5] Yakni ternyata engkau tetap istiqamah di atas keadaanmu yang baik.

[6] Nabi Musa ‘alaihis salam datang ke negeri Madyan untuk menyelamatkan diri, di sana Beliau dikawinkan oleh seorang hamba yang saleh (menurut sebagian ahli sejarah, bahwa ia adalah Nabi Syu’aib, namun yang lain tidak berpendapat demikian) dengan salah seorang puterinya dan menetap sepuluh tahun di sana.

[7] Yakni ditetapkan dalam ilmu-Nya untuk datang ke lembah Thuwa menerima wahyu dan kerasulan, yaitu pada saat usia Beliau 40 tahun. Hal ini menunjukkan perhatian Allah kepada Nabi Musa ‘alaihis salam.

.

Tafsir Jalalain

… (dan Kami telah mencobamu dengan beberapa cobaan) Kami telah mengujimu dengan beberapa cobaan selain dari peristiwa itu, kemudian Kami selamatkan pula kamu daripadanya (maka kamu tinggal beberapa tahun) yakni selama sepuluh tahun (di antara penduduk Madyan) sesudah kamu datang ke tempat itu dari negeri Mesir, yaitu kamu tinggal di tempat Nabi Syuaib yang kemudian ia mengawinkanmu dengan putrinya (kemudian kamu datang menurut waktu yang ditetapkan) di dalam ilmu-Ku dengan membawa risalah, yaitu dalam usia empat puluh tahun (hai Musa!).

.

Tafsir Ibnu Katsir

Adapun firman Allah Swt.:

dan Kami telah mencobamu dengan beberapa cobaan. (Thaha: 40)

Imam Abu Abdur Rahman Ahmad ibnu Syu’aib An-Nasai rahimahullah telah mengatakan di dalam kitab tafsir, bagian dari kitab sunnahnya, sehubungan dengan makna firman-Nya: dan Kami telah mencobamu dengan beberapa cobaan. (Thaha: 40) Bahwa telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Asbag ibnu Zaid, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim ibnu Abu Ayyub, telah menceritakan kepadaku Sa’id ibnu Jubair yang mengatakan bahwa Abdullah ibnu Abbas pernah ditanya mengenai makna firman Allah Swt. kepada Musa a.s. yang disebutkan dalam ayat berikut: dan Kami telah mencobamu dengan beberapa cobaan. (Thaha: 40) Saya menanyakan kepadanya apa yang dimaksud dengan ‘beberapa cobaan’ dalam ayat tersebut? Maka Ibnu Abbas berkata, “Hai Ibnu Jubair, ajukanlah pertanyaanmu itu besok pagi, karena sesungguhnya jawabannya mengandung kisah yang panjang.”

Pada keesokan harinya saya berangkat pagi-pagi kepada Ibnu Abbas untuk menagih apa yang telah dijanjikannya kepada saya mengenai kisah beberapa fitnah tersebut. Ibnu Abbas menjawab, bahwa Fir’aun dan orang-orang yang berada dalam majelis musyawarahnya memperbincangkan tentang janji Nabi Ibrahim a.s. yang telah menjanjikan bahwa di kalangan keturunannya kelak akan ada yang menjadi raja diraja.

Sebagian dari mereka mengatakan bahwa sesungguhnya orang-orang Bani Israil sedang menunggu-nunggu berita itu yang tidak mereka ragukan lagi. Pada mulanya mereka menduga bahwa Yusuf ibnu Ya’qublah orang yang dijanjikannya itu. Tetapi setelah Yusuf mati, mereka mengatakan, “Bukan orang ini yang telah dijanjikan oleh Ibrahim a.s.”

Fir’aun berkata, “Kalau demikian, bagaimanakah menurut pendapat kalian?” Maka mereka sepakat untuk membuat makar, yaitu mereka mengutus beberapa orang lelaki yang membawa golok untuk menyembelih. Para lelaki itu ditugaskan untuk berkeliling memeriksa kaum Bani Israil. Maka tidak sekali-kali mereka menjumpai bayi yang baru dilahirkan, melainkan bayi itu mereka sembelih jika laki-laki. Demikianlah bunyi instruksi hasil musyawarah mereka, dan para lelaki yang bertugas untuk itu harus mengerjakannya

Setelah hal itu berjalan dan mereka melihat bahwa orang-orang dewasa Bani Israil banyak yang mati karena ajalnya telah tiba, sedangkan bayi-bayi mereka disembelih, maka mereka berkata, “Kaum Bani Israil, hampir saja kalian tumpas habis sehingga akibatnya kalian sendirilah yang menangani pekerjaan yang biasa mereka tangani sebagai pelayan kalian. Maka sebaiknya bunuhlah bayi-bayi lelaki mereka selama satu tahun dan biarkanlah anak-anak perempuan mereka hidup, kemudian biarkanlah bayi-bayi lelaki mereka hidup pada tahun berikutnya. Janganlah seseorang dari mereka kalian bunuh, karena mereka kelak akan menjadi pengganti dari orang-orang dewasa mereka yang telah mati bila mereka telah tumbuh dewasa. Dengan cara ini jumlah populasi mereka dapat ditekan dan tidak terlalu banyak, dan keberadaan mereka masih tetap dapat dipertahankan, walaupun banyak dari kalangan mereka yang kalian bunuh; kalian memerlukan mereka di masa mendatang.”

Fir’aun dan ahli musyawarah telah sepakat dengan keputusan itu. Dan di tahun mereka tidak melakukan Penyembelihan terhadap bayi-bayi lelaki Bani Israil, bertepatan dengan itu Harun dikandung oleh ibunya dan lahir di tahun itu secara terang-terangan dalam keadaan aman.

Akan tetapi, pada tahun berikutnya ibu Harun mengandung Musa. Maka hati ibu Musa dilanda oleh kesusahan dan kesedihan disebabkan adanya cobaan (fitnah) tersebut terhadap kandungannya. Hai Ibnu Jubair, itulah yang dimaksud dengan cobaan itu, yakni di saat ibu Musa sedang mengandung Musa.

Maka Allah menurunkan wahyu kepada ibu Musa, “Janganlah kamu takut, janganlah pula bersedih hati, sesungguhnya Kami akan mengembalikan Musa kepadamu dan akan menjadikannya salah seorang dari para utusan.”

Dan Allah memerintahkan kepada ibu Musa bahwa bila ia melahirkan Musa, hendaklah Musa dimasukkan ke dalam peti, lalu dihanyutkan di Sungai Nil. Setelah ibu Musa melahirkannya, ia melakukan apa yang telah diperintahkan oleh Allah Swt. kepadanya (yaitu memasukkan Musa ke dalam sebuah peti dan menghanyutkannya ke Sungai Nil).

Setelah anaknya lenyap dari pandangan matanya, setan datang dan membisikkan ke dalam hatinya godaan sehingga ibu Musaherkata kepada dirinya sendiri (menyesali perbuatannya), “Apa yang telah kulakukan terhadap anakku? Seandainya ia disembelih di hadapanku, lalu aku mengafani dan menguburkannya, tentulah hal itu lebih baik daripada melemparkannya ke Sungai Nil untuk makanan ikan-ikannya.”

Arus Sungai Nil membawa peti itu ke pinggiran sungai tempat pelayan (dayang-dayang) istri Fir’aun mengambil air minum. Ketika para dayang melihat peti itu, maka mereka memungutnya; dan ketika mereka hendak membuka peti itu, sebagian di antara mereka berkata, “Sesungguhnya di dalam peti ini pasti terdapat harta karun, dan sesungguhnya jika kita membukanya, niscaya istri Fir’aun tidak akan percaya dengan apa yang kita temukan di dalamnya.”

Maka mereka membawa peti itu dalam keadaan seperti apa adanya sewaktu mereka menemukannya tanpa mengeluarkan sesuatu pun dari dalamnya, lalu mereka menyerahkan peti itu kepada istri Fir’aun. Ketika istri Fir’aun membukanya, ia terkejut karena di dalamnya terdapat seorang bayi lelaki yang mungil. Maka Allah melimpahkan rasa kasih sayang kepada Musa di dalam hati istri Fir’aun yang belum pernah dialaminya sebelum itu.

Lain halnya dengan ibunya Musa, saat itu hatinya kosong dan lupa segala-gala kecuali hanya mengingat Musa. Ketika orang-orang Fir’aun yang ditugaskan untuk menyembelih setiap bayi lelaki Bani Israil mendengar berita penemuan bayi tersebut, maka mereka datang dengan membawa pisau penyembelihannya kepada istri Fir’aun untuk menyembelih bayi itu.

Hai Ibnu Jubair, itulah yang dinamakan fitnah (cobaan) dalam ayat ini. Kemudian istri Fir’aun berkata kepada mereka, “Biarkanlah dia, karena sesungguhnya bayi yang satu ini tidak dapat memberikan nilai tambah apa pun terhadap kaum Bani Israil. Aku akan datang menghadap kepada Fir’aun, lalu.aku akan meminta grasi kepadanya. Jika dia memberikan grasi kepada bayi ini demi aku, lebih baik bagi kalian dan kalian telah menunaikan tugas dengan baik. Dan jika dia memerintahkan agar bayi ini disembelih, saya tidak mencela kalian.”

Istri Fir’aun datang menghadap kepada Fir’aun dan berkata kepadanya, “Bayi ini adalah penyejuk hatiku dan juga hatimu.” Fir’aun berkata, “Silakan bayi itu untukmu, tetapi aku tidak memerlukannya.”

Rasulullah ﷺ bersabda:

وَالَّذِي يُحْلَف بِهِ لَوْ أَقَرَّ فِرْعَوْنُ أَنْ يَكُونَ قُرَّةَ عَيْنٍ لَهُ كَمَا أَقَرَّتِ امْرَأَتُهُ، لَهَدَاهُ اللَّهُ كَمَا هَدَاهَا، وَلَكِنْ حَرَمَهُ ذَلِكَ

Demi Tuhan yang disebut nama-Nya dalam sumpah, seandainya Fir’aun mengakui bahwa Musa adalah buah hatinya juga, sama dengan apa yang diakui oleh istrinya, tentulah Allah akan memberinya hidayah sebagaimana hidayah yang diterima oleh istrinya, tetapi Fir’aun diharamkan untuk menerimanya.

Kemudian istri Fir’aun mengundang semua wanita yang terdekat dengannya dengan maksud mencari wanita yang cocok untuk menyusui Musa. Tetapi setiap Musa diambil oleh seseorang dari mereka untuk disusuinya, Musa menolak air susunya. Hal ini membuat istri Fir’aun merasa khawatir bila Musa sama sekali tidak mau minum air susu yang berakhir dengan kematiannya. Istri Fir’aun merasa sedih karenanya, lalu ia keluar dengan membawa Musa ke pasar dan tempat orang-orang ramai dengan tujuan untuk mencari wanita yang mau menyusuinya dan Musa mau kepada air susunya, tetapi Musa tetap tidak mau juga.

Dalam waktu yang sama ibu Musa dicekam oleh rasa sedih dan kekhawatiran, lalu ia berkata kepada saudara perempuan Musa (Maryam), “Telusurilah jejaknya dan carilah berita tentangnya, apakah ia masih hidup ataukah telah dimakan oleh binatang buas?” Saat itu ibu Musa lupa akan janji Allah kepadanya tentang Musa.

Saudara perempuan Musa melihat Musa dari kejauhan, sedangkan mereka yang membawa Musa tidak menyadarinya. Ia menelitinya dari kejauhan dan ternyata bayi tersebut adalah saudaranya (Musa), maka ia sangat gembira dapat menemukannya kembali bertepatan dengan kesulitan mereka dalam mencari ibu persusuan buat Musa. Lalu ia berkata, “Maukah kalian aku tunjukkan kepada suatu ahli bait yang dapat memelihara bayi ini bagi kalian, dan ahli bait itu sangat sayang kepadanya?”

Maka mereka menangkap saudara perempuan Musa dan berkata kepadanya, “Apakah yang menyebabkan kamu tahu bahwa ahli bait itu sayang kepadanya, apakah kamu mengenalnya?” Mereka merasa ragu dengan pernyataan saudara perempuan Musa itu. Ibnu Abbas berkata, “Hai Ibnu Jubair, kejadian ini termasuk dari cobaan tersebut.”

Saudara perempuan Musa berkata, “Ahli bait itu pasti sayang kepada bayi ini karena mereka mengharapkan agar dapat menjadi orang yang terdekat dengan raja dan berharap mendapat imbalannya dari raja.” Mendengar alasannya yang tepat itu, maka mereka melepaskannya. Lalu saudara perempuan Musa pulang menemui ibunya dan menceritakan berita itu kepadanya. Kemudian ibunya datang; dan ketika Musa diletakkan dipangkuannya, maka Musa langsung menetek padanya dan menyedot air susunya sehingga perutnya penuh dan kenyang.

Kemudian pergilah seorang pembawa berita gembira, melapor kepada istri Fir’aun bahwa telah diketemukan ibu yang mau menyusui Musa, anak angkatnya itu. Kemudian istri Fir’aun mengirimkan utusan agar menjemput wanita itu dan Musa. Setelah ia melihat apa yang dilakukan oleh Musa kepada ibu yang menyusuinya, yakni Musa mau menerimanya sebagai ibu persusuannya, maka istri Fir’aun berkata kepada wanita itu (yang sebenarnya adalah ibu Musa sendiri), “Tinggallah kamu di istanaku untuk menyusui anakku ini, karena sesungguhnya tiada sesuatu pun yang lebih aku cintai selain dari anakku ini.”

Ibu Musa menjawab, “Saya tidak dapat meninggalkan rumah saya lama-lama karena saya masih mempunyai anak kecil. Saya merasa khawatir bila anak saya merasa kehilangan ibunya. Maka jika Tuan suka menyerahkan bayi ini kepada saya untuk saya bawa ke rumah, saya sangat berterima kasih sekali dan saya akan berusaha sekuat tenaga untuk memperlakukannya dengan perlakuan yang terbaik. Sesungguhnya saya tidak dapat meninggalkan rumah dan anak-anak saya.”

Ibu Musa teringat akan janji Allah kepadanya tentang Musa, saat itu istri Fir’aun tidak mempunyai pilihan lagi kecuali menuruti kehendaknya. Ibu Musa merasa yakin bahwa Allah pasti akan memenuhi janji-Nya. Akhirnya pada hari itu juga ia pulang ke rumahnya dengan membawa Musa. Kemudian Allah membuat Musa tumbuh dengan pertumbuhan yang baik, dan Allah memeliharanya karena keputusan yang telah ditetapkannya tentang Musa.

Di masa itu kaum Bani Israil masih tetap hidup dalam penindasan dan kekejaman orang-orang Fir’aun.

(Selanjutnya ….)


 

 

Artikel SebelumnyaSetelah Musa Tumbuh Besar
Artikel SelanjutnyaSayangnya Ibu dan Kelembutannya kepada Anak