Ayat 275 Surah Al-Baqarah, Tafsir Ibnu Katsir

Kajian Tafsir Surah Al-Baqarah ayat 275

0
254

Ayat 275 dari Surah Al-Baqarah memberikan arahan yang tegas mengenai hukum riba dalam Islam, sambil menekankan keberkahan dalam jual beli yang sesuai dengan ajaran agama.

Dalam konteks ini, Tafsir Ibnu Katsir memberikan penjelasan yang mendalam tentang konsep riba menurut perspektif Islam.

قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَجَاءٍ الْمَكِّيُّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُثْمَانَ بْنِ خُثَيْم، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرٍ قَالَ: لَمَّا نَزَلَتْ: الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ لَمْ يَذْرِ الْمُخَابَرَةَ، فَلْيَأْذَنْ بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ

Imam Abu Dawud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya Abu Dawud, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Mu’in, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Raja Al-Makki, dari Abdullah ibnu Usman ibnu Khaisam, dari Abuz Zubair, dari Jabir yang menceritakan bahwa ketika ayat berikut diturunkan, yaitu firman-Nya: Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena (tekanan) penyakit gila. (Al-Baqarah: 275); Maka Rasulullah ﷺ bersabda: Barang siapa yang tidak mau meninggalkan (berhenti dari) mukhabarah (bagi hasil), maka diserukan perang terhadapnya dari Allah dan Rasul-Nya.

Hadits riwayat Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadits Abu Khaisam, dan ia mengatakan bahwa hadits ini sahih dengan syarat Muslim, tetapi keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak mengetengahkannya.

Mukhabarah, juga dikenal dengan istilah muzara’ah, ialah menyewa lahan dengan bayaran sebagian dari apa yang dihasilkan oleh lahan itu. Muzabanah ialah membeli buah kurma gemading yang ada di pohonnya dengan pembayaran berupa buah kurma yang telah dipetik (masak). Muhaqalah yaitu membeli biji-bijian yang masih hijau dengan biji-bijian yang telah masak (ijon). Sesungguhnya semuanya dan yang semisal dengannya diharamkan tiada lain untuk menutup pintu riba, mengingat persamaan di antara kedua barang yang dipertukarkan tidak diketahui karena belum kering. Karena itulah para ahli fiqih mengatakan bahwa persamaan yang tidak diketahui sama halnya dengan mufadalah (ada kelebihan pada salah satu pihaknya). Berangkat dari pengertian inilah maka mereka mengharamkan segala sesuatu yang menjurus ke arah riba dan memutuskan semua sarana yang membantunya, sesuai dengan pemahaman mereka. Perbedaan pendapat dan pandangan mereka dalam masalah ini berpangkal dari ilmu yang dianugerahkan oleh Allah Subhaanahu wa Ta’aala kepada masing-masing dari mereka, karena Allah Subhaanahu wa Ta’aala telah berfirman:

وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ

Dan di atas setiap orang yang berilmu ada yang lebih berilmu. (Yusuf: 76)

Simak: Al-Baqarah Ayat 286: Merenungi Makna Doa Orang Mukmin

 

Bab Riba merupakan bab paling sulit menurut kebanyakan ahli ilmu agama. Amirul Mukminin Umar ibnul Khattab radiyallahu ‘anhu pernah mengatakan, Seandainya saja Rasulullah ﷺ memberikan suatu keterangan yang memuaskan kepada kami tentang masalah jad (kakek) dan kalalah serta beberapa bab yang menyangkut masalah riba. Yang dimaksudnya ialah beberapa masalah yang di dalamnya terdapat campuran masalah riba. Hukum syariat telah tegas-tegas menyatakan bahwa semua sarana yang menjurus ke arah hal yang diharamkan hukumnya sama haramnya; karena semua sarana yang membantu ke arah hal yang diharamkan hukumnya haram. Sebagaimana hal yang menjadi kesempurnaan bagi perkara yang wajib, hukumnya wajib pula.

Di dalam hadits Sahihain, dari An-Nu’man ibnu Basyir, disebutkan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ، وَبَيْنَ ذَلِكَ أُمُورٌ مُشْتَبِهَاتٌ، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبَهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبَهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ، كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ

Sesungguhnya perkara yang halal itu jelas dan perkara yang haram jelas (pula), sedangkan di antara keduanya terdapat hal-hal yang syubhat. Maka barang siapa yang memelihara dirinya dari hal-hal yang syubhat, berarti dia telah membersihkan agama dan kehormatannya. Dan barang siapa yang terjerumus ke dalam hal-hal yang syubhat, berarti dia telah terjerumus ke dalam hal yang haram. Perihalnya sama dengan seorang penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tempat yang terlarang, maka sulit baginya menghindar dari tempat yang terlarang itu.

Di dalam kitab-kitab sunnah disebutkan dari Al-Hasan ibnu Ali radiyallahu ‘anhu, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:

دَعْ مَا يُرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يُرِيبُكَ

Tinggalkanlah hal yang meragukanmu untuk melakukan hal yang tidak kamu ragukan.

Di dalam hadits lain disebutkan:

الْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي الْقَلْبِ وَتَرَدَّدَتْ فِيهِ النَّفْسُ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ

Dosa ialah sesuatu yang mengganjal di hati(mu) dan jiwa merasa ragu terhadapnya serta kamu tidak suka bila orang lain melihatnya.

Di dalam riwayat yang lain disebutkan:

اسْتَفْتِ قَلْبَكَ وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ

Mintalah fatwa (tanyakanlah) kepada hatimu, sekalipun orang-orang meminta fatwa kepadamu dan mereka memberikan fatwanya kepadamu.

As-Sauri meriwayatkan dari Asim, dari Asy-Sya’bi, dari Ibnu Abbas yang telah menceritakan: Wahyu yang paling akhir diturunkan kepada Rasulullah ﷺ adalah ayat mengenai riba. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari melalui Qubaisah, dari Ibnu Abbas.

Ahmad meriwayatkan dari Yahya, dari Sa’id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah, dari Sa’id ibnul Musayyab, bahwa Umar radiyallahu ‘anhu pernah mengatakan bahwa ayat yang paling akhir diturunkan ialah ayat yang mengharamkan riba. Sesungguhnya Rasulullah ﷺ keburu wafat sebelum beliau menafsirkannya kepada kami. Maka tinggalkanlah riba dan hal yang meragukan.

Ahmad mengatakan bahwa as’ar ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah dan Ibnu Murdawaih melalui jalur Hayyaj ibnu Bustam, dari Dawud ibnu Abu Hind, dari Abu Nadrah, dari Abu Sa’id Al-Khudri yang telah menceritakan bahwa Umar ibnul Khattab radiyallahu ‘anhu berkhotbah kepada kami, antara lain isinya mengatakan, Barangkali aku akan melarang kalian beberapa hal yang baik buat kalian, dan akan memerintahkan kepada kalian beberapa hal yang tidak layak bagi kalian. Sesungguhnya ayat Al-Qur’an yang diturunkan paling akhir adalah ayat riba, dan sesungguhnya Rasulullah ﷺ wafat, sedangkan beliau belum menjelaskannya kepada kami. Maka tinggalkanlah hal-hal yang meragukan kalian untuk melakukan hal-hal yang tidak meragukan kalian.

Ibnu Abu Abdi mengatakan bahwa sanad hadits ini berpredikat mauquf, lalu ia mengetengahkan hadits ini. Hadits ini diketengahkan pula oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya.

قَالَ ابْنُ مَاجَهْ: حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ الصَّيْرَفِيُّ، حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ زُبَيْدٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ مَسْرُوقٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ -هُوَ ابْنِ مَسْعُودٍ -عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الرِّبَا ثَلَاثَةٌ وَسَبْعُونَ بَابًا

Ibnu Majah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Ali As-Sairafi, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Abdi, dari Syu’bah, dari Zubaid, dari Ibrahim, dari Masruq, dari Abdullah (yaitu Ibnu Mas’ud), dari Nabi ﷺ yang telah bersabda: Riba terdiri atas tujuh puluh tiga bab (macam).

Imam Hakim meriwayatkan pula hal yang semisal di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadits Amr ibnu Ali Al-Fallas berikut sanadnya. Ia menambahkan dalam riwayatnya hal berikut:

أَيْسَرُهَا أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ، وَإِنَّ أَرْبَى الرِّبَا عِرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ

Yang paling ringan ialah bila seorang lelaki mengawini ibunya. Dan sesungguhnya riba yang paling berat ialah kehormatan seorang lelaki muslim.

Imam Hakim mengatakan bahwa hadits ini sahih dengan syarat Syaikhain (Bukhari dan Muslim), tetapi keduanya tidak mengetengahkan hadits ini.

قَالَ ابْنُ مَاجَهْ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ، عَنْ أَبِي مَعْشَرٍ، عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الرِّبَا سَبْعُونَ حُوبًا، أَيْسَرُهَا أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ

Ibnu Majah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Sa’id, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Idris, dari Abu Ma’syar, dari Sa’id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah yang telah menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Riba itu tujuh puluh bagian. Yang paling ringan ialah bila seorang laki-laki mengawini ibunya.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا هُشَيْم، عَنْ عَبَّادِ بْنِ رَاشِدٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي خَيرة حَدَّثَنَا الْحَسَنُ  مُنْذُ نَحْوٍ مِنْ أَرْبَعِينَ أَوْ خَمْسِينَ سَنَةً  عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يَأْكُلُونَ فِيهِ الرِّبَا قَالَ: قِيلَ لَهُ: النَّاسُ كُلُّهُمْ؟ قَالَ: مَنْ لَمْ يَأْكُلْهُ مِنْهُمْ نَالَهُ مِنْ غُبَارِهِ

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim, dari Ibad ibnu Rasyid, dari Said, dari Abu Khairah, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan sejak dari sekitar empat puluh tahun atau lima puluh tahun, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Kelak akan datang kepada manusia suatu zaman yang dalam zaman itu mereka memakan riba. Ketika ditanyakan kepadanya, bahwa apakah semua orang (melakukannya)? Maka beliau menjawab, Barang siapa yang tidak memakannya dari kalangan mereka, maka ia terkena oleh debu (getah)-Nya.

Hal yang sama diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nasai, dan Ibnu Majah dari berbagai jalur melalui Sa’id ibnu Abu Khairah, dari Al-Hasan.

Termasuk ke dalam bab ini pengharaman semua sarana yang menjurus ke hal-hal yang diharamkan, seperti hadits yang disebutkan oleh Imam Ahmad;

حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، عَنْ مُسْلِمِ بْنِ صُبَيْحٍ، عَنْ مَسْرُوقٍ، عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: لَمَّا نَزَلَتِ الْآيَاتُ مِنْ آخِرِ الْبَقَرَةِ فِي الرِّبَا خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إلى الْمَسْجِدِ، فقرأهُن، فَحَرَّمَ التِّجَارَةَ فِي الْخَمْرِ

Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah, telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, dari Muslim ibnu Sabih, dari Masruq, dari Siti Aisyah yang telah menceritakan: Ketika diturunkan ayat-ayat terakhir surat Al-Baqarah yang menyangkut masalah riba, maka Rasulullah keluar menuju masjid, lalu membacakan ayat-ayat tersebut, dan beliau mengharamkan jual beli khamr.

Hadits ini diriwayatkan pula oleh Jamaah selain Imam Turmuzi melalui berbagai jalur dari Al-A’masy dengan lafaz yang sama.

Demikianlah menurut lafaz riwayat Imam Bukhari dalam tafsir ayat ini, yaitu: Maka beliau mengharamkan jual beli khamr.

Lihat: Juz 3: Langkah Menuju Pemahaman Mendalam tentang Al-Quran

 

Menurut lafaz lain yang juga dari Imam Bukhari, bersumber dari Siti Aisyah radiyallahu ‘anha, disebut seperti berikut: Setelah diturunkan ayat-ayat terakhir dari surat Al-Baqarah mengenai masalah riba, maka Rasulullah ﷺ membacakannya kepada orang-orang, kemudian beliau ﷺ mengharamkan jual beli khamr.

Salah seorang Imam yang membicarakan hadits ini mengatakan, Setelah riba dan semua sarananya diharamkan, maka diharamkan pula khamr dan semua sarana yang membantunya, seperti memperjualbelikannya dan lain sebagainya. Seperti yang dikatakan oleh Rasulullah ﷺ dalam sebuah hadits yang muttafaq ‘alaih (disepakati kesahihannya oleh Bukhari dan Muslim), yaitu:

لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ حُرِّمَتْ عَلَيْهِمُ الشُّحُومُ فَجَمَّلُوهَا فَبَاعُوهَا وَأَكَلُوا أَثْمَانَهَا

Allah melaknat orang-orang Yahudi, diharamkan kepada mereka lemak, tetapi mereka memulasinya, kemudian mereka menjualnya dan memakan hasilnya.

Dalam pembahasan yang lalu disebutkan hadits Ali dan Ibnu Mas’ud serta selain keduanya pada masalah laknat Allah terhadap muhallil (penghapus talak), dalam tafsir firman-Nya: hingga dia kawin dengan suami yang lain. (Al-Baqarah: 230) Yaitu sabda Rasulullah ﷺ yang mengatakan:

لَعَنَ اللَّهُ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَكَاتِبَهُ

Allah melaknat pemakan riba, wakilnya, kedua saksinya, dan juru tulisnya.

Mereka mengatakan bahwa tidak sekali-kali seseorang menyaksikan dan mencatat riba kecuali jika riba ditampakkan dalam bentuk transaksi yang diakui oleh syariat, tetapi pada hakikatnya transaksi itu sendiri batal. Hal yang dijadikan pertimbangan adalah maknanya, bukan gambar lahiriahnya, mengingat semua amal perbuatan itu berdasarkan niat masing-masing. Di dalam sebuah hadits sahih disebutkan:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلَا إِلَى أَمْوَالِكُمْ، وَإِنَّمَا يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ، وَأَعْمَالِكُمْ

Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa kalian dan tidak pula kepada harta kalian, melainkan Dia memandang kepada hati dan amal perbuatan kalian.

Abul Abbas ibnu Taimiyyah menulis sebuah kitab yang isinya membatalkan tentang tahlil, di dalamnya terkandung larangan menggunakan semua sarana yang menjurus kepada setiap perkara yang batil. Penyajian yang disuguhkannya itu cukup memuaskan, semoga Allah merahmati dan melimpahkan rida-Nya kepadanya.

Hanya Allah Yang Maha mengetahui dan segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.

 

Halaman:  1      3

 

Artikel SebelumnyaLKPD Mengidentifikasi Informasi Teks Tanggapan
Artikel SelanjutnyaAl-Baqarah Ayat 275, Larangan Praktik Riba

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini