Beranda Tuntut ilmu Tafakur Alam Perintah untuk Memberi Tempat Tinggal

Perintah untuk Memberi Tempat Tinggal

Tafsir Al-Qur’an: Surah At-Thalaq ayat 6

0

Kajian Tafsir: Surah At-Thalaq ayat 6. Masih menerangkan tentang perempuan-perempuan yang ditalak. Pada ayat ini Allah Subhaanahu wa Ta’aala memerintahkan untuk memberi mereka tempat tinggal. Ukuran tempat tinggal adalah secara ma’ruf (wajar) yaitu rumah yang biasa ditempati oleh orang yang semisal si laki-laki dan si wanita (standar) sesuai kemampuan suami. Allah Ta‘ala Berfirman:

 بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى (٦)

Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan kandungan, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka[30]; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. (Q.S. At-Thalaq : 6)

.

Tafsir Ibnu Abbas

Askinūhunna (tempatkanlah mereka), yakni tempatkanlah perempuan-perempuan yang ditalak. Hal ini dikatakan kepada para suami.

Min haitsu sakaηtum miw wujdikum (di mana kalian bertempat tinggal menurut kemampuan kalian), yakni menurut kesanggupan kalian dalam memberikan nafkah dan tempat tinggal.

Wa lā tudlārrūhunna (dan janganlah kalian merugikan mereka), yakni merugikan perempuan-perempuan yang ditalak dalam masalah nafkah dan tempat tinggal.

Li tudlayyiqū ‘alaihinn (untuk membuat mereka mengalami kesulitan) dalam masalah nafkah dan tempat tinggal, yang dengan begitu kalian telah berlaku zalim terhadap mereka.

Wa ing kunna (dan jika mereka), yakni perempuan-perempuan yang ditalak.

Ulāti hamlin (sedang hamil), yakni sedang mengandung.

Fa aηfiqū ‘alaihinna (maka berilah mereka nafkah), yakni hendaklah suami memberi mereka nafkah.

Hattā yadla‘na hamlahunna (hingga melahirkan kandungannya), yakni melahirkan anaknya.

Fa in ardla‘na lakum (kemudian jika mereka menyusui [anak-anak itu] untuk kalian), yakni ibu itu menyusui anak kalian.

Fa ātūhunna (maka berikanlah kepada mereka), yakni berikanlah kepada ibu itu.

Ujūrahunna (upahnya), yakni nafkah penyusuan.

Wa’ tamirū bainakum (dan bermusyawarahlah di antara kalian), yakni dan hendaklah (mantan) suami dan (mantan) istri itu mengeluarkan nafkah sesuai dengan kesepakan di antara mereka.

Bi ma‘rūfin (dengan baik), yakni dengan nafkah yang baik untuk penyusuan, tanpa berlebih-lebihan atau terlalu sedikit.

Wa iη ta‘āsartum (dan jika kalian menemui kesulitan) dalam hal nafkah, dan si ibu pun menolak (pemberian mantan suaminya).

Fa sa turdli‘u lahū ukhrā (maka bolehlah perempuan lain yang menyusuinya) yakni menyusui anak itu.


Di sini Link untuk Tafsir Al-Qur’an Juz Ke-28


Hidayatul Insan bi tafsiril Qur’an

  1. [27]Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka[28]. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan kandungan[29], kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka[30]; dan musyawarahkanlah di antara kamu[31] (segala sesuatu) dengan baik[32]; dan jika kamu menemui kesulitan[33], maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.

[27] Telah disebutkan sebelumnya, bahwa Allah Subhaanahu wa Ta’aala melarang mengeluarkan wanita-wanita yang ditalak dari rumah, dan di ayat ini Allah Subhaanahu wa Ta’aala memerintahkan untuk memberi mereka tempat tinggal. Ukuran tempat tinggal adalah secara ma’ruf (wajar) yaitu rumah yang biasa ditempati oleh orang yang semisal si laki-laki dan si wanita (standar) sesuai kemampuan suami.

[28] Yakni jangan menyusahkan mereka ketika mereka (istri-istri) menempati tempat tinggal itu baik dengan kata-kata maupun perbuatan dengan maksud agar mereka bosan sehingga mereka keluar dari rumah sebelum sempurna ‘iddahnya yang berarti kamu sama saja mengeluarkan mereka dari rumahmu. Kesimpulan ayat ini adalah larangan mengeluarkan mereka dari rumah, dan larangan bagi mereka (wanita yang ditalak) keluar dari rumah suami mereka serta perintah untuk memberi mereka tempat tinggal dengan cara yang tidak menimbulkan bahaya dan kesulitan, dan hal ini dikembalikan kepada ‘uruf (kebiasaan yang berlaku).

[29] Hal itu karena kandungan yang ada di perutnya jika wanita itu ditalak ba’in, namun jika ditalak raj’i, maka infak itu karena wanita itu dan kandungannya, dan nafkah berakhir sampai wanita itu melahirkan kandungannya. Jika mereka telah melahirkan kandungannya, maka mereka bisa menyusukan anak mereka atau tidak. Jika mereka menyusukan (anak-anak)mu, maka berikanlah imbalannya kepada mereka.

[30] Yang sudah ditentukan untuk mereka, jika belum ditentukan maka dengan upah mitsil (standar).

[31] Yakni hendaknya masing-masing dari suami dan istri serta selain dari keduanya bermusyawarah dengan baik.

[32] Untuk membuat kesepakatan terhadap upah yang diberikan, atau bermusyawarah untuk hal yang bermanfaat dan bermaslahat di dunia dan akhirat bagi keduanya dan bagi anak mereka, karena melalaikannya dapat menimbulkan keburukan dan bahaya yang banyak yang tidak diketahui kecuali oleh Allah Subhaanahu wa Ta’aala. Di samping itu, dalam bermusyawarah terdapat tolong-menolong terhadap kebaikan dan takwa. Termasuk yang perlu diterangkan pula di sini adalah bahwa suami dan istri ketika berpisah di masa ‘iddah, khususnya apabila lahir anak dari keduanya, biasanya terjadi pertengkaran dalam hal menafkahi si wanita dan si anak, yakni ketika sudah berpisah yang biasanya terjadi karena kebencian, dimana dari kebencian timbul banyak masalah. Oleh karena itulah, mereka diperintahkan bermusyawarah, berbuat baik, bermu’amalah secara baik, tidak bermusuhan dsb.

[33] Misalnya tidak terjadi kesepakatan agar si ibu menyusukan anaknya, maka bisa dicarikan wanita lain untuk menyusukan anaknya sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.” (Terj. Al Baqarah: 233). Hal ini apabila si anak menerima tetek selain ibunya, namun jika tidak menerima selain tetek ibunya, maka ibunya ditetapkan untuk menyusukannya dan diwajibkan kepadanya. Jika si ibu menolak, maka dipaksa, dan ia akan memperoleh imbalan standar jika tidak terjadi kesepakatan terhadap jumlah imbalannya. Hal ini diambil dari kandungan ayat tersebut dari sisi makna yang tersirat di dalamnya. Hal itu, karena anak berada di perut ibunya selama masa kehamilan, dimana ia (si anak) tidak dapat keluar darinya, maka Allah Subhaanahu wa Ta’aala menetapkan agar walinya menafkahi. Ketika sudah lahir, dan berkemungkinan si anak mendapatkan makanan dari ibunya atau dari selainnya, maka Allah Subhaanahu wa Ta’aala membolehkan hal tersebut (menyusukan dari ibunya atau dari wanita lain). Tetapi, jika si anak tidak dapat memperoleh makanan kecuali dari ibunya, maka ia seperti kandungan yang di perut ibunya dan ibunya ditetapkan untuk menyusukannya sebagai jalan untuk memberinya makan.

.

Tafsir jalalain

  1. (Tempatkanlah mereka) yakni istri-istri yang ditalak itu (pada tempat kalian tinggal) pada sebagian tempat-tempat tinggal kalian (menurut kemampuan kalian) sesuai dengan kemampuan kalian, lafal ayat ini menjadi athaf bayan atau badal dari lafal yang sebelumnya dengan mengulangi penyebutan huruf jarr-nya/kata depan dan memperkirakan adanya mudhaf. Yakni pada tempat-tempat tinggal yang kalian mampui, bukannya pada tempat-tempat tinggal yang di bawah itu (dan janganlah kalian menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka) dengan memberikan kepada mereka tempat-tempat tinggal yang tidak layak, sehingga mereka terpaksa butuh untuk keluar atau membutuhkan nafkah, lalu karena itu maka mereka mengeluarkan biaya sendiri. (Dan jika mereka itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan bayi kalian) maksudnya menyusukan anak-anak kalian hasil hubungan dengan mereka (maka berikanlah kepada mereka upahnya) sebagai upah menyusukan (dan bermusyawarahlah di antara kalian) antara kalian dan mereka (dengan baik) dengan cara yang baik menyangkut hak anak-anak kalian, yaitu melalui permusyawaratan sehingga tercapailah kesepakatan mengenai upah menyusukan (dan jika kalian menemui kesulitan) artinya kalian enggan untuk menyusukannya; yaitu dari pihak ayah menyangkut masalah upah, sedangkan dari pihak ibu, siapakah yang akan menyusukannya (maka boleh menyusukan bayinya) maksudnya menyusukan si anak itu semata-mata demi ayahnya (wanita yang lain) dan ibu si anak itu tidak boleh dipaksa untuk menyusukannya.

.

Tafsir Ibnu Katsir

Allah Swt. berfirman, memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya apabila seseorang dari mereka menceraikan istrinya, hendaklah ia memberinya tempat tinggal di dalam rumah hingga idahnya habis. Untuk itu disebutkan oleh firman-Nya:

Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal. (Ath-Thalaq: 6)

Yakni di tempat kamu berada.

menurut kemampuanmu. (Ath-Thalaq: 6)

Ibnu Abbas, Mujahid, serta ulama lainnya mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah menurut kemampuanmu. Hingga Qatadah mengatakan sehubungan dengan masalah ini, bahwa jika engkau tidak menemukan tempat lain untuknya selain di sebelah rumahmu, maka tempatkanlah ia padanya.

Firman Allah Swt.:

dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. (Ath-Thalaq: 6)

Muqatil ibnu Hayyan mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah misalnya pihak suami membuatnya merasa tidak betah agar si istri memberi imbalan kepada suaminya untuk mengubah suasana, atau agar si istri keluar dari rumahnya dengan suka rela.

As-Sauri telah meriwayatkan dari Mansur, dari Abud Duha sehubungan dengan makna firman-Nya: dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka. (Ath-Thalaq: 6) Misalnya si suami menceraikan istrinya; dan apabila idahnya tinggal dua hari, lalu ia merujukinya.

Firman Allah Swt.:

Dan jika mereka (istri-istri yang sudah di talak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin. (Ath-Thalaq:6)

Kebanyakan ulama, antara lain Ibnu Abbas dan sejumlah ulama Salaf serta beberapa golongan ulama Khalaf mengatakan bahwa ayat ini berkenaan dengan wanita yang ditalak tiga dalam keadaan hamil, maka ia tetap diberi nafkah hingga melahirkan kandungannya. Mereka mengatakan bahwa dalilnya ialah bahwa wanita yang ditalak raj’i wajib diberi nafkah, baik dalam keadaan hamil atau pun tidak hamil. Ulama lainnya mengatakan bahwa konteks ayat ini seluruhnya berkaitan dengan masalah wanita-wanita yang ditalak raj’i. Dan sesungguhnya disebutkan dalam nas ayat kewajiban memberi nafkah kepada wanita yang hamil, sekalipun status talaknya ra ‘i tiada lain karena masa kandungan itu cukup lama menurut kebiasaannya. Untuk itu maka diperlukan adanya nas lain yang menyatakan wajib memberi nafkah sampai wanita yang bersangkutan bersalin. Dimaksudkan agar tidak timbul dugaan bahwa sesungguhnya kewajiban memberi nafkah itu hanyalah sampai batas masa idah.

Kemudian para ulama berbeda pendapat sehubungan dengan masalah apakah kewajiban nafkah kepada istri berkaitan dengan kandungannya ataukah untuk kandungannya semata? Ada dua pendapat yang keduanya di-nas-kan dari Imam Syafii dan lain-lainnya. Kemudian dari masalah ini berkembang berbagai masalah cabang yang disebutkan di dalam kitab-kitab fiqih.

Firman Allah Swt.:

kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu. (Ath-Thalaq: 6)

Yakni apabila mereka telah bersalin, sedangkan mereka telah diceraikan dengan talak tiga, maka mereka telah terpisah selamanya dari suaminya begitu idah mereka habis (yaitu melahirkan kandungannya). Dan bagi wanita yang bersangkutan diperbolehkan menyusui anaknya atau menolak untuk menyusuinya, tetapi sesudah ia memberi air susu pertamanya kepada bayinya yang merupakan kebutuhan si bayi. Dan jika ia mau menyusui bayinya, maka ia berhak untuk mendapatkan upah yang sepadan, dan ia berhak mengadakan transaksi dengan ayah si bayi atau walinya sesuai dengan apa yang disepakati oleh kedua belah pihak mengenai jumlah upahnya. Karena itulah maka disebutkan oleh firman-Nya: kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mw untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya. (Ath-Thalaq: 6)

Adapun firman Allah Swt.:

dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik. (Ath-Thalaq: 6)

Yaitu hendaklah semua urusan yang ada di antara kalian dimusyawarahkan dengan baik dan bertujuan baik, tidak merugikan diri sendiri dan tidak pula merugikan pihak lain. Sebagaimana yang disebutkan di dalam surat Al-Baqarah melalui firman-Nya:

لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ

Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya. (Al-Baqarah: 233)

Firman Allah Swt.:

dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. (Ath-Thalaq: 6)

Yakni apabila pihak lelaki dan pihak wanita berselisih, misalnya pihak wanita menuntut upah yang banyak dari jasa penyusuannya, sedangkan pihak laki-laki tidak menyetujuinya, atau pihak laki-laki memberinya upah yang minim dan pihak perempuan tidak menyetujuinya, maka perempuan lain boleh menyusukan anaknya itu. Tetapi seandainya pihak si ibu bayi rela dengan upah yang sama seperti yang diberikan kepada perempuan lain, maka yang paling berhak menyusui bayi itu adalah ibunya.

Hanya Allah Yang Maha mengetahui dan segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.

 

Exit mobile version