Beranda Cinta rasul Akhlak Ketika Mendengar Berita Bohong

Ketika Mendengar Berita Bohong

Tafsir Al-Qur’an: Surah An-Nuur ayat 12

0
jalan dipinggir hutan
jalan dipinggir hutan

Kajian Tafsir Surah An-Nuur ayat 12. Tuduhan dusta kepada Aisyah Ummul mukminin radhiyallahu ‘anha, sikap sebagian kaum muslimin yang tidak berbaik sangka terhadap diri mereka sendiri ketika mendengar berita bohong itu.  Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman:

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

لَوْلا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَذَا إِفْكٌ مُبِينٌ (١٢)

Mengapa orang-orang mukmin dan mukminat tidak berbaik sangka terhadap diri mereka sendiri ketika kamu mendengar berita bohong itu dan berkata, “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.” (Q.S. An-Nuur : 12)

.

Tafsir Ibnu Abbas

Lau lā idz sami‘tumūhu zhannal mu’minūna wal mu’minātu bi aηfusihim khairan (mengapa ketika kalian mendengar berita bohong itu kaum mukminin dan mukminat tidak berbaik sangka terhadap diri mereka sendiri), yakni mengapa ketika kaum mukminin dan mukminat mendengar tuduhan berzina terhadap ‘Aisyah dan Shafwan, mereka tidak berbaik sangka terhadap ummul mukminin, ‘Aisyah, sebagaimana prasangka baik mereka terhadap ibu sendiri?

Wa qālū (dan berkata), yakni mengapa kalian tidak berkata,

Hādzā (“Ini), yakni tuduhan zina ini.

Ifkum mubīn (adalah berita bohong yang nyata”), yakni kebohongan yang nyata.


BACA JUGA Kajian Tafsir Juz Ke-18 untuk ayat lainnya

Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur’an

  1. [7]Mengapa orang-orang mukmin dan mukminat tidak berbaik sangka[8] terhadap diri mereka sendiri[9] ketika kamu mendengar berita bohong itu dan berkata[10], “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.”

[7] Selanjutnya Allah Subhaanahu wa Ta’aala mengarahkan hamba-hamba-Nya ketika mendengar berita seperti itu.

[8] Yakni bersihnya orang yang dituduhkan itu, yaitu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dan lagi keimanan yang ada dalam diri mereka menolak berita dusta yang disampaikan itu.

[9] Maksudnya, masing-masing bersangka baik terhadap yang lain. Disebut “terhadap diri mereka sendiri” karena celaan yang ditujukan sebagian mereka kepada yang lain sama saja mencela diri mereka sendiri, karena kaum mukmin seperti sebuah jasad, dan antara mukmin yang satu dengan yang lain seperti sebuah bangunan, yang satu sama lain saling menguatkan. Oleh karena itu, hendaknya seseorang tidak mencela mukmin yang lain, karena yang demikian sama saja mencela dirinya sendiri, dan jika seseorang tidak bersikap seperti ini, maka yang demikian menunjukkan imannya lemah dan tidak memiliki sikap nasihah (tulus) terhadap kaum muslimin.

[10] Ketika mereka mendengar kata-kata itu.

.

Tafsir Jalalain

  1. (Mengapa tidak, sewaktu kalian mendengar berita bohong itu orang-orang mukmin dan mukminat berprasangka terhadap diri mereka sendiri) sebagian dari mereka mempunyai prasangka terhadap sebagian yang lain (dengan sangkaan yang baik, dan mengapa tidak berkata, “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata”) dan jelas bohongnya. Di dalam ayat ini terkandung ungkapan Iltifat dari orang-orang yang diajak bicara. Maksudnya, mengapa kalian hai golongan orang-orang yang menuduh, mempunyai dugaan seperti itu dan berani mengatakan hal itu?

.

Tafsir Ibnu Katsir

Hal ini merupakan pelajaran dari Allah kepada orang-orang mukmin dalam kisah Aisyah r.a. saat sebagian dari mereka memperbincangkan hal yang buruk dan pergunjingan mereka tentang berita bohong tersebut. Allah Swt. berfirman:

Mengapa di waktu kalian mendengar berita bohong itu (yakni tuduhan yang dilontarkan terhadap diri Siti Aisyah r.a.) orang-orang mukmin dan mu’minat tidak berprasangka baik terhadap diri mereka sendiri. (An-Nuur: 12)

Yaitu mengapa pada diri mereka sendiri seandainya tuduhan seperti itu dilontarkan terhadap diri mereka. Jika tuduhan tersebut tidak layak dilontarkan terhadap diri mereka, maka terlebih lagi tidak layaknya jika dilontarkan kepada ummul mu’minin; ia lebih bersih dari pada diri mereka.

Menurut pendapat lain, ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Ayub Khalid ibnu Zaid Al-Ansari dan istrinya.

Seperti yang disebutkan di dalam riwayat Imam Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar, dari ayahnya, dari sebagian orang yang terkemuka dari kalangan Bani Najjar, bahwa Abu Ayub Khalid ibnu Zaid Al-Ansari ditanya oleh istrinya (yaitu Ummu Ayub), “Hai Abu Ayub, tidakkah engkau mendengar apa yang dikatakan oleh orang-orang tentang Aisyah r.a.” Abu Ayub menjawab, “Ya, berita tersebut adalah dusta. Apakah engkau berani melakukan hal tersebut (seperti yang dituduhkan oleh mereka), hai Ummu Ayub?” Ummu Ayub menjawab, “Tidak, demi Allah, aku benar-benar tidak akan melakukan hal tersebut.” Maka Abu Ayub menjawab, “Aisyah, demi Allah, lebih baik daripada kamu.”

Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa setelah diturunkan ayat Al-Qur’an yang menyebutkan tentang apa yang telah dituduhkan oleh para penyiar berita bohong terhadap diri Aisyah, yaitu firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kalian juga. (An-Nuur: 11) Maksudnya, Hassan dan teman-temannya yang mengatakan berita bohong itu. Kemudian Allah Swt. berfirman: Mengapa di waktu kalian mendengar berita bohong itu orang-orang mukmin dan mu’minat tidak berprasangka baik. (An-Nuur: 12), hingga akhir ayat. Yakni seperti apa yang dikatakan oleh Abu Ayub dan istrinya.

Muhammad ibnu Umar Al-Waqidi mengatakan telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Habib, dari Daud ibnul Husain, dari Abu Sufyan, dari Aflah maula Abu Ayyub, bahwa Ummu Ayyub berkata kepada Abu Ayyub, “Tidakkah engkau mendengar apa yang dikatakan oleh orang-orang tentang Aisyah?” Abu Ayyub menjawab, “Ya, benar, dan itu adalah berita bohong. Apakah kamu berani melakukan hal itu, hai Ummu Ayyub?” Ummu Ayyub menjawab, “Tidak, demi Allah.” Abu Ayyub berkata, “Aisyah, demi Allah, lebih baik daripada kamu.” Setelah diturunkan wahyu yang menceritakan tentang para penyiar berita bohong itu, Allah Swt. berfirman: Mengapa di waktu kalian mendengar berita bohong itu orang-orang mukmin dan mukminat tidak berprasangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata, “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.” (An-Nuur: 12) Yaitu seperti yang dikatakan oleh Abu Ayyub saat berkata kepada istrinya, Ummu Ayyub.

Menurut pendapat yang lain, sesungguhnya orang yang berprasangka baik itu hanyalah, Ubay ibnu Ka’b.

Firman Allah Swt.:

orang-orang mukmin (tiada) berprasangka. (An-Nuur: 12), hingga akhir ayat.

Artinya, mengapa mereka tidak berprasangka baik, karena sesungguhnya ummul mu’minin adalah orang yang ahli kebaikan dan lebih utama sebagai ahli kebaikan. Hal ini berkaitan dengan hati, yakni batin orang yang bersangkutan.

Firman Allah Swt.:

Dan (mengapa tidak) berkata, “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.” (An-Nuur: 12)

Kemudian lisan mereka mengatakan bahwa berita tersebut adalah dusta dan bohong belaka yang mereka lontarkan terhadap pribadi Siti Aisyah Ummul Mu’minin. Karena sesungguhnya kejadian yang sebenarnya sama sekali tidak mengandung hal yang mencurigakan, sebab Siti Aisyah Ummul Mu’minin datang dengan mengendarai unta Safwan ibnul Mu’attal di waktu tengah hari, sedangkan semua pasukan menyaksikan kedatangan tersebut dan Rasulullah ﷺ ada di antara mereka. Seandainya hal tersebut mengandung kecurigaan, tentulah kedatangan tersebut tidak dilakukan secara terang-terangan, tentu pula kedatangan keduanya tidak mau disaksikan oleh semua orang yang ada dalam pasukan itu. Bahkan dengan segala upaya seandainya mengandung hal yang mencurigakan, tentu kedatangan mereka dilakukan dengan sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui oleh orang lain. Berdasarkan kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa apa yang mereka lontarkan terhadap diri Siti Aisyah berupa tuduhan tidak baik hanyalah bohong belaka dan buat-buatan, serta tuduhan keji dan merupakan transaksi yang merugikan pelakunya.

Hanya Allah Yang Maha mengetahui dan segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.

 

Exit mobile version