Setelah Musa Tumbuh Besar

Tafsir Al-Qur’an: Surah Thaahaa ayat 40

0
742

Kajian Tafsir Surah Thaahaa ayat 40. (Sebelumnya….) Setelah Musa tumbuh besar, istri Fir’aun berkata kepada ibu Musa, “Bawalah anakku kepadaku.” Maka ibu Musa menjanjikan kepadanya suatu hari di mana ia akan berkunjung ke istana dengan membawa Musa menghadap kepada istri Fir’aun.

Istri Fir’aun berkata kepada kasir istana, istri Fir’aun yang lainnya, dan semua hulubalang istana, “Jangan ada seorang pun di antara kalian kecuali ia harus menyambut anakku dengan membawa hadiah sebagai penghormatan kepadanya pada hari ini. Untuk mengecek kebenarannya aku akan mengutus mata-mata untuk meneliti apakah tiap orang dari kalian benar-benar melakukan perintahku ini.”

Akhirnya hadiah dan bingkisan-bingkisan terus mengalir menyambut kedatangan Musa sejak Musa keluar dari rumah ibunya sampai masuk ke istana istri Fir’aun.

Setelah Musa masuk ke dalam istana istri Fir’aun, istri Fir’aun menghormati dan memuliakannya serta menyambutnya dengan gembira dan memberikan hadiah yang berlimpah kepada ibu Musa sebagai imbalan dari jasanya yang telah merawat dan memelihara Musa dengan baik. Kemudian istri Fir’aun berkata, “Sesungguhnya aku benar-benar akan membawa Musa menghadap kepada Fir’aun, agar dia memberinya hadiah dan penghormatan (kedudukan).”

Setelah Musa dibawa ke istana Fir’aun, Fir’aun mendudukkan Musa di pangkuannya, tetapi Musa menarik jenggot Fir’aun dan menjulurkannya sampai ke tanah. Maka tukang tenung Fir’aun dari kalangan musuh-musuh Allah berkata kepada Fir’aun, “Tidakkah engkau melihat apa yang telah dijanjikan oleh Allah kepada Ibrahim, bahwa sesungguhnya dari keturunannya kelak akan lahir seseorang yang bakal mewarisi kerajaanmu dan mengalahkanmu serta menjatuhkanmu?”

Maka Fir’aun mengundang orang-orang yang ditugaskan untuk menyembelih anak-anak (Bani Israil). Ibnu Abbas mengatakan, “Hai Ibnu Jubair, peristiwa itu merupakan sebagian dari fitnah (cobaan) sesudah semua cobaan yang ditimpakan kepada Musa.”

Tetapi istri Fir’aun datang dan mencegah seraya berkata, “Apakah yang akan engkau lakukan terhadap anak kecil yang telah engkau berikan kepadaku ini?” Fir’aun menjawab, “Tidakkah kamu melihat bahwa dia mengira dirinya dapat menjatuhkanku dan mengalahkanku?” Istri Fir’aun berkata, “Sekarang adakanlah ujian agar duduk perkaranya menjadi jelas dan terang antara aku dan engkau sehubungan dengan anak ini. Datangkanlah dua butir bara api dan dua butir mutiara, lalu sajikanlah di hadapan anak ini. Jika anak ini ternyata mengambil dua buah mutiara dan tidak mengambil dua butir bara api, berarti anak ini telah mengerti. Dan jika anak ini mengambil dua butir bara api dan tidak mengambil dua butir mutiara, maka ketahuilah bahwa tiada seorang pun yang berakal (mengerti) akan memilih dua butir bara api dan mengesampingkan dua butir mutiara.”

Kemudian disajikan di hadapan Musa yang saat itu masih anak-anak dua butir bara api dan dua butir mutiara. Ternyata Musa mengambil dua butir bara api. Maka Fir’aun menarik tangan Musa dari bara api itu karena khawatir tangan Musa akan terbakar, dan pada saat itu juga istri Fir’aun berkata, “Tidakkah kamu saksikan sendiri?”

Allah Swt. memalingkan Musa dari bahaya dan menyelamatkannya dari ujian tersebut, padahal Fir’aun telah berniat jahat terhadapnya; dan Allah melaksanakan urusan yang dikehendaki-Nya terhadap Musa.

Setelah Musa tumbuh dewasa dan menjadi seorang lelaki, maka tidak ada seorang pun dari kalangan keluarga Fir’aun bila bersamanya berani melakukan perbuatan aniaya atau menghina seseorang dari kalangan kaum Bani Israil, mereka sangat segan dan tidak berani berbuat sembarangan dengan keberadaan Musa.

Ketika Musa a.s. sedang berjalan sendirian di salah satu bagian kota Mesir, tiba-tiba ia bersua dengan dua orang lelaki yang sedang bertengkar dengan serunya; salah seorangnya adalah orangnya Fir’aun (yakni bangsa Qibti), sedangkan yang lainnya adalah seorang dari Bani Israil.

Kemudian orang Bani Israil itu meminta tolong kepada Musa dalam menghadapi orang Qibti, Musa menjadi marah ketika orang Qibti itu memaki-maki dirinya karena orang Qibti itu mengetahui bahwa Musa dihormati oleh Bani Israil dan selalu berpihak kepada mereka. Tiada seorang pun dari bangsa Qibti yang mengetahui hakikat Musa mereka hanya mengetahui bahwa kaitan Musa dengan Bani Israil hanyalah kaitan persusuan kecuali ibu Musa yang mengetahui hakikat sesungguhnya, bahwa Musa adalah anaknya sendiri. Juga terkecuali Musa sendiri, karena Allah telah memberitahukan hal itu kepadanya yang tidak diketahui oleh orang lain. Maka Musa langsung memukul orang Qibti itu dan pukulan itu mematikannya. Kejadian itu tidak ada seorang pun yang melihatnya selain Allah Swt. dan orang Bani Israil itu.

Setelah membunuh orang Qibti itu Musa menyesali perbuatannya dan berkata, “Ini adalah perbuatan setan, sesungguhnya setan itu adalah musuh yang jelas-jelas menyesatkan (manusia).” Kemudian Musa berkata, seperti yang disitir oleh firman-Nya:

رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْ لِي فَغَفَرَ لَهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri, karena itu ampunilah aku. Maka Allah mengampuninya, sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Qashash: 16)

Karena itu, Musa dirundung oleh rasa takut di kota itu seraya melihat perkembangannya dengan penuh rasa khawatir (akibat perbuatan yang telah dilakukannya kemarin). Lalu Musa datang menghadap kepada Fir’aun, saat itu dilaporkan kepada Fir’aun bahwa sesungguhnya orang Bani Israil telah membunuh seorang lelaki dari kalangan pengikut Fir’aun. Si pelapor mengatakan, “Kami menuntut keadilan, belalah hak kami, janganlah engkau memberikan ampunan kepada mereka.” Fir’aun berkata, “Carilah pembunuhnya dan hadapkanlah kepadaku berikut dengan saksi yang melihat kejadian itu.” Karena sesungguhnya seorang raja itu tidaklah adil bila menghukum seseorang tanpa bukti dan tanpa saksi, sekalipun orang yang teraniaya adalah dari kalangan orang yang terdekat dengan raja. Selanjutnya Fir’aun mengatakan, “Selidikilah dahulu kejadiannya. Bila telah jelas, maka aku akan membalas pelakunya dengan hukuman yang setimpal demi kalian’

Ketika mereka sedang berkeliling melakukan penyelidikan kasus tersebut dan masih belum menemukan suatu bukti pun, tiba-tiba keesokan harinya Musa melihat orang Bani Israil yang kemarin sedang berkelahi pula dengan seseorang dari kalangan pendukung Fir’aun. Kemudian orang Bani Israil itu kembali meminta tolong kepada Musa agar membantunya untuk melawan orang Qibti tersebut.

Musa yang saat itu masih menyesali perbuatannya kemarin merasa benci melihat kejadian tersebut. Orang Bani Israil itu menjadi marah ketika ia melihat Musa diam saja, saat itu ia hendak memukul orang Qibti yang menjadi lawannya. Musa mengingatkan orang Bani Israil itu akan kejadian kemarin dan berkata kepadanya, ”Sesungguhnya kamu ini adalah orang yang benar-benar sesat.”

Setelah mendengar Musa berkata demikian, orang Bani Israil itu memandangnya, dan ia melihat Musa merah padam mukanya seperti kemarahannya kemarin yang mengakibatkan terbunuhnya pengikut Fir’aun. Maka orang Bani Israil itu menjadi takut, ia merasa khawatir bahwa kemarahan Musa yang sekarang ini ditujukan kepada dirinya, bukan kepada pengikut Fir’aun yang menjadi lawannya sekarang. Maka ia berkata kepada Musa, “Hai Musa, apakah kamu hendak membunuhku, sebagaimana kamu telah membunuh seseorang kemarin?”

Orang Bani Israil itu tidak sekali-kali mengatakan demikian kepada Musa, melainkan karena ia merasa takut bahwa kemarahan Musa kali ini ditujukan kepada dirinya dan Musa hendak membunuhnya. Akhirnya orang Bani Israil itu mengalah dan tidak melanjutkan pertengkarannya dengan orang Qibti, pengikut Fir’aun tersebut?”

Pengikut Fir’aun itu pergi, lalu ia menceritakan kepada kaumnya apa yang telah dikatakan oleh bekas lawannya yang dari kalangan Bani Israil itu. Yaitu perkataannya yang berbunyi, “Hai Musa, apakah kamu hendak membunuhku seperti kamu membunuh seseorang kemarin?”

Maka Fir’aun mengirimkan para algojonya untuk membunuh Musa, lalu utusan Fir’aun ini mulai melakukan pencarian terhadap Musa dengan langkah-langkah yang tenang karena mereka merasa yakin bahwa Musa tidak akan dapat melarikan diri dari kejarannya. Mereka melakukan pengejaran dengan mengambil jalan-jalan besar.

Seorang lelaki dari golongan Musa datang dengan langkah yang tergesa-gesa dari ujung kota menemui Musa dengan memakai jalan pintas yang lebih dekat, sehingga ia dapat mendahului orang-orang Fir’aun yang sedang melakukan pengejaran terhadap Musa. Lalu lelaki itu menceritakan hal tersebut kepada Musa. Ibnu Abbas berkata kepada Sa’id ibnu Jubair, “Hai ibnu Jubair, peristiwa ini termasuk di antara cobaan tersebut.”

Musa segera melarikan diri menuju ke arah negeri Madyan, padahal sebelum itu Musa tidak mengenal jalan menuju ke arah tersebut; ia hanya berbekal baik prasangkanya kepada Allah Swt. dan tekadnya yang bulat. Ia mengatakan, seperti yang disitir oleh firman-Nya.

عَسَى رَبِّي أَنْ يَهْدِيَنِي سَوَاءَ السَّبِيلِ وَلَمَّا وَرَدَ مَاءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِنْ دُونِهِمُ امْرَأتَيْنِ تَذُودَان

Mudah-mudahan Tuhanku memimpinku ke jalan yang benar. Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Madyan, ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat ternaknya. (Al-Qashash: 22-23)

Kedua wanita ku sedang menahan ternak kambingnya. Maka Musa bertanya kepada mereka, “Mengapa kamu berdua memisahkan diri, tidak meminumkan ternakmu bersama orang-orang itu?” Kedua wanita itu menjawab, “Kami tidak mempunyai kekuatan untuk ikut berdesakan dengan kaum yang banyak. Sesungguhnya kami hanya meminumkan ternak kami dari sisa air mereka.”

Maka Musa menguak kerumunan orang dan memenuhi timbanya dengan air yang banyak, sehingga ia adalah orang pertama yang mengambil air itu di antara para penggembala yang ikut berdesakan. Akhirnya kedua wanita itu pulang dengan membawa ternak kambingnya menuju ke rumah mereka, menemui ayah mereka.

Musa a.s. pergi dan bernaung di bawah sebuah pohon, lalu berkata, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:

رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنزلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ

Ya Tuhanku, sesungguhnya aku memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.(Al-Qashash: 24)

Ayah kedua wanita itu merasa heran karena kedua putrinya begitu cepat pulang dengan membawa ternaknya, lalu ia berkata, “Sesungguhnya kalian berdua hari ini benar-benar mengalami kejadian yang penting.” Kemudian keduanya menceritakan kepada ayahnya tentang apa yang telah dilakukan oleh Musa. Maka si ayah memerintahkan kepada salah seorang putrinya untuk memanggil Musa. Ia mendatangi Musa dan mengundangnya agar menemui ayahnya.

Setelah Musa menceritakan kepada ayah kedua orang wanita itu segala sesuatu yang telah dialaminya, si orang tua berkata kepadanya, “Janganlah kamu takut, sekarang engkau telah selamat dari orang-orang yang zalim. Baik Fir’aun atau kaumnya sama sekali tidak mempunyai kekuasaan terhadap kami karena kami berada di luar kerajaannya.”

Salah seorang putrinya berkata, seperti yang dikisahkan oleh Allah Swt. melalui firman-Nya:

يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الأمِينُ

Ya bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. (Al-Qashash: 26)

Maka rasa girah ayah kedua wanita itu tergugah sehingga ia berkata kepadanya, “Tahukah kamu sampai di manakah kekuatannya dan sampai di mana kepercayaannya?” Ia menjawab, bahwa kekuatan Musa yang dilihatnya sendiri ialah saat Musa mengambil timba besar dan memenuhinya dengan air untuk minum ternak kambingnya. Ia belum pernah menyaksi¬kan seorang lelaki yang lebih kuat daripada Musa dalam mengambil air minum dari telaga itu. (Selanjutnya wanita itu berkata), “Adapun mengenai kepercayaannya (agamanya), sesungguhnya Musa pada mulanya memandang saya saat saya menuju kepadanya dan sampai di hadapannya. Setelah Musa mengetahui bahwa saya adalah seorang wanita, maka ia menundukkan pandangan matanya dan tidak berani mengangkatnya hingga saya menyampaikan undanganmu kepadanya. Lalu Musa berkata kepadaku, ‘Berjalanlah kamu di belakangku, dan beritahukanlah jalan menuju rumahmu kepadaku (dari belakang).’ Tidak sekali-kali ia melakukan demikian melainkan dia adalah orang yang dapat dipercaya.”

Maka hati si ayah menjadi tenang kembali dan mempercayai apa yang diucapkan oleh putrinya itu tentang Musa. Kemudian (si ayah) berkata kepada Musa, “‘Maukah kamu bila kukawinkan dengan salah seorang dari anak perempuanku ini atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun; dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun, itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.”

Musa menyetujuinya, dan kewajiban Musa ialah bekerja selama delapan tahun. Hal ini diselesaikannya dengan baik, kemudian Musa menambahnya dua tahun hingga genap sepuluh tahun; yang dua tahun itu sebagai hadiah dari Musa.

Sa’id ibnu Jubair mengatakan bahwa ia pernah dijumpai oleh seorang ulama Nasrani, dan orang itu berkata kepadanya, “Tahukah kamu, manakah di antara kedua tempo yang diselesaikan oleh Musa? Saya menjawab, “Tidak tahu.” Dan memang saat itu saya tidak mengetahui kisah tersebut, lalu saya bersua dengan Ibnu Abbas dan menceritakan kepadanya tentang pertanyaan orang Nasrani itu. Ibnu Abbas menjawab, “Tidakkah kamu tahu bahwa masa delapan tahun merupakan suatu kewajiban bagi Nabi Musa untuk menunaikannya? Ia tidak mengurangi sedikit pun dari delapan tahun. Dan Musa mengetahui bahwa Allah telah menakdirkan baginya akan menyelesaikan masa yang telah dijanjikan itu, dan akhirnya Musa menyelesaikan masa sepuluh tahun tersebut.”


BACA JUGA Kajian Tafsir Al-Qur’an Juz Ke-16 untuk ayat lainnya

Kemudian aku bersua kembali dengan orang Nasrani tersebut, maka kuceritakan kepadanya hal tersebut. Lalu orang Nasrani itu berkata, “Orang yang engkau tanyai dan menceritakan kepada engkau akan hal itu adalah orang yang lebih alim (mengetahui) tentang hal tersebut daripada engkau.” Saya berkata, “Bahkan lebih mulia dan lebih utama.”

(Selanjutnya ….)


 

 

Artikel SebelumnyaPeristiwa Api dan Tongkat Serta Tangannya
Artikel SelanjutnyaBeberapa Cobaan yang Berat